Wednesday, June 25, 2008

Fair Play, No Play

Pemilihan bupati Temanggung sudah semakin dekat. Tiga pasang calon bupati dan wakil sudah ditetapkan, yakni Muhammad Irfan-Setyo Adjie, Hasyim Afandi-Budiarto, serta Bambang Sukarno-Fuad Hidayat.

Tahap-tahap menuju ke hari-H mulai dilewati. Setelah melakukan pendaftaran di Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), beberapa hari silam kekayaan masing-masing kandidat dipublikasikan. Bupati incumbent Muhammad Irfan tercatat sebagai calon terkaya dengan jumlah kekayaan menembus Rp 1 miliar.

Rincinya, untuk cabup, Muhammad Irfan memiliki kekayaan Rp 1,001 miliar, kemudian Hasyim Afandi dengan Rp 909,2 juta, dan berikutnyua Bambang Sukarno Rp 487,7 juta. Untuk calon wabup, baru Fuad Hidayat yang buka yakni Rp 634,4 juta. Publikasi kekayaan Budiarto dan Setyo Adjie masih menunggu dari KPK.

Apa arti publikasi kekayaan kandidat? Pertama untuk mengetahui seberapa jauh kesiapan pendanaan mereka dalam menggolkan dirinya menjadi pasangan terpilih. Kedua, sebagai tolak ukur ketika nanti pasangan yang jadi selesai masa jabatan. Di situ dihitung berapa kekayaan sewaktu menjabat dan berapa kekayaan setelah menjabat.

Lantas, berapa biaya untuk maju dalam pilkada setingkat kabupaten ini? Dalam dunia politik, kita bedakan dulu antara political cost (biaya politik) dan money politic (politik uang). Kelihatannya hampir sama, tetapi sebetulnya bertolak belakang, terutama jika dilihat dari kerangka fair play.

Political cost adalah biaya yang memang seharusnya keluar dari kandidat, dimana biaya terbesar adalah untuk kampanye dan saksi. Kampanye jelas butuh biaya besar, selain untuk alat peraga berupa spanduk, poster, publikasi, iklan, kaos, dll juga perlu dana besar untuk mengerahkan massa. Kemudian saksi di TPS juga perlu diberi uang saku.

Sementara money politic adalah uang dikeluarkan untuk membeli suara. Di sini membeli suara bisa dilakukan ditingkat elit politik maupun di tingkat grass root.

Ditingkat elit, misalnya kita mau jadi bupati tetapi tidak memiliki kendaraan politik, maka kita bisa ‘membayar’ partai politik yang mau dibayar, agar mengusung kita. Bisa juga kita sudah memiliki kendaraan politik tapi masih perlu dukungan partai lain, kita bisa ‘membeli’ partai itu agar bergabung.

Jika di tingkat grass root, maka politik uang biasanya dilakukan lewat pemberian uang secara langsung terutama pada hari-hari menjelang hari-H, atau bahkan pagi hari pada hari-H itu. Taktik semacam ini biasa kita sebut dengan serangan fajar, karena uang itu dibagikan begitu fajar menyingsing di hari pencoblosan.

Biaya politik adalah biaya yang sah untuk dikeluarkan, sedangkan politik uang merupakan biaya yang tidak sah alias ilegal. Tapi prakteknya, tidak sedikit yang menjalankan keduanya, ya biaya politik ya politik uang. Mereka menghalalkan segala cara, termasuk memnghambur-hamburkan uang untuk mencapai jabatan itu.

Dengan asumsi kita orang-orang baik, maka mari kita hitung yang ongkos politik saja. Berapa yang dibutuhkan? Ada berbagai versi. Seorang kyai yang juga politisi lokal mengkalkulasi biaya kampanye dan saksi di pemilihan kabupaten Rp 3 miliar. Kemudian seorang ketua DPD Jateng sebuah partai menghitung Rp 2 - Rp 2-5 miliar. Versi lain, dari salah satu kandidat di Temanggung, paling minim masih bisa sekitar Rp 1 miliar.

Oke kita hitung yang paling irit saja, Rp 1 miliar, bagaimana para kandidat itu membiayai ongkos politik. Dari kekayaan yang mereka miliki, tampaknya sangat berat. Kandidat yang tembus Rp 1 miliar saja cuma satu, lainnya dibawah. Kalaupun ditambah cawabup, paling banter jadi Rp 1,5-Rp 2 miliar. Maka harus dicari jalan lain: cari sumbangan.

Kandidat memang dibolehkan mendapat sumbangan dari luar. Untuk penyumbang perseorangan maksimal Rp 50 juta sedangkan untuk badan usaha Rp 350 juta. Tapi tetap ada yang diharamkan, yaitu sumbangan dari asing, penyumbang yang tak jelas identitasnya, serta bantuan dari pemerintah, pemda, BUMN, dan BUMD.

Dalam prakteknya, ketika kita menjadi calon, bahkan saat menjadi bakal calon, sudah berkeliaran tawaran dana dari luar. Mereka adalah para calo-calo Pilkada. Mereka siap mengelontorkan uang ratusan juta, bahkan miliar, tentu dengan kompensasi. Bentuk kompensasi bisa berupa proyek, atau mencatut persentase dari anggaran pembangunan.

Ada juga yang memberikan pinjaman. Kelak pinjaman itu akan dibayar kalau sudah jadi bupati, entah berapa bunganya. Kabarnya seorang bupati di kabupaten sebelah Temanggung, sekarang masih pusing melunasi pinjaman yang pernah dia pakai pada pemilihan bupati beberapa waktu lalu.

Jika dilihat dari kekayaan masing-masing, hampir pasti semua kandidat pasangan membutuhkan sumbangan dari pihak luar. Tinggal nanti diawasi saja siapa yang memperoleh secara diam-diam. Pasangan yang melakukan kampanye secara besar-besaran perlu lebih diwaspadai sumber dananya. Apalagi sampai bagi-bagi uang.

Kita ingin pemimpinTemanggung selain memiliki visi yang kuat, juga jujur dan steril dari korupsi. Maka dalam merebut suara rakyat, para kandidat seyogyanya melakukan dengan cara yang baik, dan mengedepankan fair play. Jika dilakukan dengan menghalalkan segala cara, itu bukan fair play, tapi orang Jawa Timur bilang ‘gak main’ yang bahasa Inggrisnya, ’no play’.

Jadi pilih kandidat yang fair play, jangan yang no play.@.

No comments:

Post a Comment