Sunday, August 15, 2010

Kemiskinan VS Foya-foya

‘’Begitu kita perlihatkan serangkaian foto tersebut mereka terharu, beberapa terlihat meneteskan airmata,’’ begitu kata Dirjen Pajak Mochamad Tjiptarjo menceritakan tentang presentasi dia di depan para pembayar pajak yang susah ditagih.

Apa yang ditampilkan Tjiptarjo dalam presentasi itu? Kehidupan orang miskin yang menghidupi dirinya dari timbunan sampah yang menggunung. Mereka mengais-ngais sampah, mencari botol plastik, kertas, atau apapun yang masih bisa dijual. Wajah-wajah orang tua dan anak-anak dalam frame it memang mengenaskan. ‘’Setelah melihat itu mereka tersentuh, dan mau membayar kewajiban pajaknya,’’ kata Tjiptarjo.

Kemiskinan memang banyak dimanfaatkan oleh berbagai lembaga untuk mengegolkan tujuannya. Dirjen Pajak, karena punya gol menagih para penunggak pajak yang bandel, dia ‘memanfaatkan’ kehidupan orang miskin untuk mengetuk hatinya. Ada juga lembaga yang menjual kemiskinan untuk memperoleh dana dari luar negeri. Dan yang keterlaluan, ada yang tega menjual kondisi rakyat miskin sebagai obyek pariwisata bagi orang asing.

Tapi jika berbicara tentang kemiskinan memang tidak ada habisnya, sebagaimana tidak pernah tuntasnya problema penghapusan kemiskinan dari negeri ini. Di tengah pujian dari berbagai negara terhadap keberhasilan Indonesia lolos dari krisis global tahun 2009 lalu dimana kita masih mencatat pertumbuhan 4,5 persen, kemiskinan tidak juga banyak beranjak.

Begitu juga dengan pajak. Ketika setiap tahun pemerintah berhasil menaikkan perolehan pajak sampai ratusan triliun, tapi pemberantasan kemiskinan masih berjalan lambat. Perlambatan paling nyata adalah turunnya penduduk miskin dari Maret 2009 ke Maret 2010, dimana hanya terjadi pengurangan 1,5 juta jiwa menjadi 13,33 persen atau masih terdapat 32,53 juta rakyat miskin.

Yang mengenaskan lagi, sebagian besar rakyat miskin yang terangkat menjadi tidak miskin itu bukan karena pendapatan mereka naik, tapi karena adanya beras subsidi yang diberikan pemerintah. Jadi karena harga beras subsidi itu rendah, masyarakat bisa membeli beras lebih banyak. Jika saja tidak ada subsidi, berarti jumlah amsyarakat yang terentaskan dari kemiskinan tidak sebesar 1,5 juta, tapi jauh lebih sedikit.

Melihat data dari Badan Pusat Statistik, sejak 2006 memang sudah terjadi penurunan persentase penduduk miskin. Tapi lagi-lagi terlihat bahwa penurunan tersebut sangat lamban. Setidaknya jika dibandingkan dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, penurunan jumlah penduduk miskin itu boleh dibilang tidak berarti.

Kita coba lihat pada 2006, saat itu PDB perkapita 1.644 dolar per tahun, menginjak 2010 ini diperkirakan sudah mencapai 2.600 dolar per tahun. Jadi secara rata-rata saat ini pendapatan per kapita rakyat Indonesia Rp 25,2 juta per tahun atau sekitar Rp 2,1 juta per bulan. Jika rata-rata sebesar itu, tapi masih ada 32,53 juta rakyat miskin yang harus hidup dengan Rp 212 ribu per bulan, berarti terjadi kesenjangan yang sangat tinggi.

Jika diperlawankan antara pertumbuhan ekonomi dengan penurunan jumlah orang miskin menunjukkan bahwa kue pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi tidak terbagi rata. Kue lezat itu sebagian besar dinikmati oleh mereka yang sudah ‘terlanjur’ kaya. Sehingga benar kata Rhoma Irama dalam salah satu syair lagunya yang intinya mengatakan bahwa ‘yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin’. Padahal itu dibikin sudah tiga decade lalu.

Ironisnya kue pertumbuhan yang lezat itu banyak pula dinikmati oleh para pejabat kita, entah itu eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Mereka begitu pandai mengutak-utik anggaran belanja negara, sehingga yang dianggarkan untuk peningkatam kesejahteraan --dan bahkan juga untuk berfoya-foya-- disegerakan dan dinaikkan terus. Sedangkan anggaran untuk peningkatan kesejahteraan orang miskin dinomorduakan.

Benar kata Tijptarjo soal alokasi anggaran ini. ‘’Kita sudah berusaha mati-matian memperoleh pendapatan pajak yang targetnya naik terus, nah selanjutnya yang perlu diawasi adalah pengalokasiannya,’’ kata Tiptarjo. Menurut dia, semua pihak termasuk media, turut mengawal dan mengawasi bagaimana penentuan penggunaan anggaran. Cermati, berapa alokasi anggaran sesungguhnya untuk mengatasi kemiskinan.

Sekilas, terkadang kita prihatin dengan kualitas ‘etika dan moral’ para pejabat negara. Bayangkan ketika masih ada puluhan juta rakyat miskin menjerit tertahan karena kehidupan yang berat, para wakil rakyat justru tega membelanjakan uang negara Rp 1,8 triliun untuk sekadar membangun gedung. Di tengah jeritan rakyat miskin itu pula pemerintah membagi-bagi mobil seharga Rp 1,2 miliar untuk menteri dan yang sederajat beserta pimpinan lembaga negara lain, termasuk –lagi-lagi—wakil rakyat.

Mereka juga berlomba-loma menghabiskan uang untuk bepergian ke luar negeri. Di lembaga kepresidenan misalnya, pada anggaran 2010 ini akan menghabiskan Rp 162 miliar untuk biaya perjalanan luar negeri. Tak mau kalah, anggota DPRjuga menganggaran Rp 122 miliar pula untuk studi banding ke luar negeri yang selama ini lebih bayak mudharatnya dari pada manfaatnya.

Sementara itu, buruh dan petani sekarang sedang betarung untuk menyiasati kehidupan yang semakin sulit karena pendaopatan mereka tergerus kenaikan harga yang mengila. Saat ini saja menurut peneliti perburuhan upah buruh secara rata-rata hanya memenuhi 62,4 persen kebutuhan riil mereka, sehingga jika harga naik tak terkendali, mereka akan makin terpuruk.

Begitu juga petani. Berdasarkan data BPS, untuk petani subsektor tanaman perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan mengalami penurunan indeks nilai tukar petani (NTP). NTP merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Ibaratnya jika dulu setiap panen bisa makan kenyang, sekarang tidak lagi. Nelayan tak kalah beda nasibnya. Tingginya bahan bakar minyak membuat pendapatan mereka terkuras untuk biaya operasional membeli bahan bakar.

Kondisi kontradiktif semacam itu yang terkadang membuat miris rakyat. Bagaimana rakyat miskin bisa segera terangkat derajatnya jika para pemimpin sibuk mengurus diri sendiri. Mereka baru ingat kemiskinan ketika pemilihan umum menjelang, ketika mereka harus merebut simpati dari rakyat. Jika sudah lewat masa itu, rakyat terlupakan akhirnya terjadi gap yang jauh antara rakyat dengan para wakil mereka.

Sebetulnya tulisan yang mengingatkan bahwa masih ada puluhan juta rakyat kita hidup di bawah garis kemiskinan sering muncul di berbagai media. Tulisan yang mengingatkan bahwa perilaku kemewahan para pejabat sudah pula sering diguratkan dalam berbagai kesempatan. Tapi entah kenapa sampai sekarang nyaris tidak ada perubahan yang signifikan, apalagi perubahan yang mendasar untuk memperbaikinya.

Orkestra yang dimainkan dari dulu, jaman Orde Baru sampai sekarang, tetap saja, sumbang, meskipun pemainnya berganti. Suara sumbang itu karena tidak ada harmoninasi antara para penguasa dengan rakyat, antara orang kaya dengan orang miskin. Tak ada kesamaan rasa, apalagi keadilan.@

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia

(dalam juta)

Tahun Jumlah Persentase

2004 36,20 16,66

2005 35,10 15,97

2006 39,30 17,75

2007 37,17 16,58

2008 34,96 15,24

2009 32,53 14,15

2010 31,02 13,33

Sumber BPS

No comments:

Post a Comment