Friday, December 16, 2011

Hasil Survei Kadang Peduli 2011 (2-Habis)

Wonotirto

Pria berbadan kecil dengan kulit kehitaman itu terlihat gelisah. Jaket berwarna gelap yang tadinya merekat di tubuh rampingnya itu dilepas dan disampirkan di stang motor. Sepertinya dia sudah cukup lama menunggu seseorang . Sesekali pria itu duduk di sadel motornya, sesekali berdiri, sesekali pula terlihat jongkok untuk mengurangi kekesalannya.

Lantas diambilnya HP di saku celananya. Diketiklah rangkaian kalimat kepada seseorang yang ditunggu tapi belum datang juga meskipun sudah lewat satu jam. ''lha kiye temanggung parakan macet, nganti sak jam...hahaha.'' itulah sms dari pak Mukidi yang dikirimkan ke saya, minggu pagi (13 Nopember 2011).

Sehari sebelumnya memang saya sama mas Widodo dan mas Khumaedi janjian untuk ketemu pak Mu di pertigaan kali Galeh jam delapanan. Dari situ nanti kita sama-sama naik ke desa Wonotirto untuk survei lokasi pendirian perpustakaan. Tapi rupanya pagi di Temanggung terlalu indah untuk dilewatkan di luar, selimutan kandel rasanya lebih enak. Lagi pula ada alasan yang lebih rasional yaitu loket bus untuk perjalanan sore baru buka jam sembilan. Mas Wdodo yang Senin pagi harus sampai Jakarta, terpaksa menunggu loket buka untuk membeli karcis buat minggu sore.

Jadilah akhirnya jam sembilanan kita bertiga cabut menuju Parakan. Sampai di pertigaan rumah sakit Galeh, lampu dim saya nyalakan ke arah pak Mu, pertanda kita siap langsung ke atas. Tanpa harus ada pembicaraan, pak Mu langsung pake jaket dan nyetarter motor lanangnya. Wuuss..langsung pak Mu tancap gas menuju ke atas, kami kemudian tinggal mengikuti.

Jalan menuju Wonotirto sejalan dengan arah ke desa Cepit, sebuah desa yang tidak asing lagi bagi para pendaki gunung. Desa Cepit merupakan salah satu desa terakhir di lereng timur-utara gunung Sumbing. Di sinilah basecamp pendakian. Biasanya pendaki tiba di Cepit sehabis isya, kemudian ngobrol-ngrobrol sama sesama pendaki lain. Jam sepuluh malam tidur, dan bangun jam satu dinihari, langsung mendaki. Jika perjalanan lancar, pukul lima pagi hari sudah sampai puncak, dan para pendaki bisa menikmati sun set yang indah di sebelah timur.

Setelah perjalanan naik sekitar empat kilometer, tepatnya di desa Pagergunung, jalan menjadi bercabang, yang lurus menuju desa Cepit yang belok kanan menuju Wonotirto. Kami ambil jalan ke kanan. Tidak sepeti jalan menuju Cepit, rupanya yang menuju Wonotirto belum diaspal, jadi masih berupa jalan trasahan. Jalanannya pun sempit dan berliku. ''Kalau berpapasan dengan kendaraan, yang di atas ngalah, berhenti,'' kata pak Mu.

Perjalanan ini mengingatkan perjalanan ke desa Cemoro di Wonoboyo tahun lalu. Cemoro, sebuah desa yang berbatasan langsung dengan kabupaten Wonosobo. Masyarakat di sana lebih sering ke Wonosobo dibanding ke Temanggung, karena ke Wonosobo butuh waktu kurang dari satu jam sedangkan ke Temanggung dua jaman. Jalanan ke Wonosobo relatif lebih bagus dibanding ke Temanggung. Kata pak Bupati, tahun depan, jalan yang menuju ke Cemoro sudah beraspal, bahkan sampai ke perbatasan Wonosobo.

Sampai di Wonotirto, kami langsung ke rumah pak kepala dusun yang juga ketua kelompok tani. Saat itu rumah yang biasa digunakan untuk berkumpulnya kelompok tani sedang diganti reng dan genting. pengerjaan dilakukan secara gotong royong. ''Kita melakukan gotong royong setiap hari minggu pon,'' kata pak ketua kelompok tani. Hari itu ada dua rumah yang 'direnovasi' atapnya, dan dua-duanya dikerjakan oleh masyarakat.

Ngobrol sebentar di ruang tamu, mulai dari cuaca sampai suksesnya tembakau tahun ini, yang kata pak Mu, harga tembakau minimal seratus ribu per kilo. Pantas saja banyak rumah yang direnovasi, bahkan ada yang dibangun kembali. Di pagi yang dingin itu kami juga disuguhi kopi luwak, kopi yang di Eropa sana bisa sekitar dua ratus ribu per cangkir.

Kopi luwak itu hasil dari budidaya mereka, dengan mengkandangkan luwak dan kemudian si luwak itu diberi kopi untuk dimakan. Tidak semua kopi dimakan, hanya kopi terpilihlah yang dimakan luwak. Kopi yang dimakan itu akan terkelupas bijinya, dan keluar bersamaan dengan kotoran luwak. Meski keluar dari kotoran luwak, berdasakan kajian MUI, kopi luwak tetap halal. Sempat juga kami melihat luwak peliharannya.

Survei lokasi dilakukan di sebelah rumah pak ketua tadi yang juga menjadi tempat berkumpulnya kelompok tani. Tapi rupanya rumah itu milik pribadi keluarga pak ketua. Kita punya prinsip, gedung atau ruang untuk perpustakaan harus milik umum, bisa balaidesa, sekolahan (yang tidak berpagar), atau gedung milik organisasi yang juga untuk umum. Kami tidak merekomendasikan tempat itu.

Kemudian dicarilah lokasi lain. Ada balai dusun yang lokasinya strategis, diperempatan jalan. Di sebelahnya ada lapangan yang bisa digunakan untuk voli atau semacamnya, jadi cukup sering menjadi arena berkumpul warga, baik anak-anak maupun remaja. Sayang kondisinya parah. Mereka tidak sanggup untuk merenovasi gedung dusun itu dalam waktu hanya tiga minggu. Gugur lagi.

Pilihan terakhir yang sebagai alternatif adalah TPA yang memang baru dibangun. Rupanya lokasi TPA ini berada di ujung atas dusun, jalan yang menanjak cukup membuat kami menggeh-menggeh. ‘’Boyok tuwo wis ra iso diajak kompromi.’’ Jarak dari balai dusun mungkin cuma empat ratus meter, tapi karena menanjaknya cukup tajam, sesekali harus berhenti mengambil nafas.

Sampai di lokasi kami langsung melihat-lihat ruangan yang bisa digunakan. Dari sisi ruangan, boleh. Tapi dari sisi keterjangkauan, tidak memungkinkan. Tempatnya terlalu diatas, dipinggir desa. Lagi pula juga tidak persis di pinggir jalan, meski hanya keletan satu rumah, tapi akan cukup menganggu orang atau anak-anak untuk keluar masuk ke runagan itu. Tidak recomended.

Akhirnya kami rapat singkat bertiga untuk memutuskan apakah tetap dibuka perpus di Wonotirto atau tidak. Keputusannya: Tidak. Bagaimanapun kita harus strik pada kriteria yang sudah kita tetapkan. Dan inilah gunanya survei yang bukan survei-surveian. Tapi dengan catatan, jika balai dusun itu sudah jadi tahun depan, maka Wonotirto akan jadi prioritas.

Keputusan ‘tidak’ sudah diambil. Tapi masalahnya, kita sudah gembar-gembor akan mendirikan tiga perpustakaan. Saya kemudian ingat, sebelumnya mas Joni mengusulkan ada desa di Kedu yang siap untuk didirikan perpustakaan. Tapi saat itu Kedu kalah dengan Pringsurat dengan pertimbangan, FIKT belum pernah membuka perpustakaan di wilayah timur yang notabene secara ekonomi juga bukan wilayah makmur.

Saya langsung kontak mas Joni. Gagal, hp-nya mati terus. Saya kirim sms agar segera hubungi saya. Beberapa saat kemudian, telepon bisa terhubung. ''Wah...ketoke yo ra iso mas nek dadakan ngene,'' itu kata pamungkas dari mas Joni. Rasanya memang mustahil untuk mempersiapkan perpus hanya dalam waktu tiga minggu, karena yang disiapkan bukan hanya fisik berupa tempat dan rak, tapi juga kesiapan mengelolalnya.

Begitulah, akhirnya satu calon lokasi gagal dan tidak ada penggantinya. Pendirian perpustakaan jadinya hanya dua.

Kami bertiga kemudian berbicara baik-baik mengenai keputusan itu dengan pak Mu dan pak ketua kelompok tani. Mereka pun paham dengan alasan yang kita kemukakan. Akhirnya kami pun pamit pulang. Tapi sebagaimana adat di pedesaan Temanggung, setiap tamu harus makan, maka kamipun makannn...

Ketika menuju arah pulang, kami sempat bertemu dengan mantan lurah Cepit yang tak lain keponakan mas Widodo. Dalam benak kita yang namanya manten itu ya sudah cukup tua, pakai kopiah, pakai baju ya batik, mobil carry atau kijang. Lha ini lain, penampilannya koboi, pakai baju kotak yang dimasukkan dicelana jean, sepatu semi booth. Mobilnya? Willys! Top pokokmen.

Tak lebih dari sepuluh menit kita ngobrol, karena jam satu siang harus ketemu pak bupati di Pendopo. Saat itu sudah jam setengah satu, sementara saya harus datang ke kondangan dulu. dari Parakan kami langsung ke Pendopo sekalian melihat pameran fotografi yang digelar Koforte. Sehari sebelumnya saya sudah menikmati foto-foto yang dipamerkan, gantian mas Widodo dan mas Khum yang hari itu melihat-lihat foto. Saya pamit sebentar kondangan yang kebetulan lokasinya di gedung di belakang Pendopo.

Bergegas saya masuk ke gedung karena waktunya memang sudah kesiangan. Begitu jalan menuju pelaminan untuk salaman dengan pengantin, ehh..pethukan sama pak Hasyim yang sudah mau pulang. ''Mangkeh sios to? '' kata pak Hasyim ketika kami salaman. ''Njjih pak, nanti saya langsung ke sana,'' jawab saya. Kalau sama sesepuh memang saya banyak bicara campuran kromo dan bahasa Indonesia, termasuk sama pak Hasyim. Untuk kata-kata yang saya bisa kromo, ya kromo, kalo kromonya nggak tahu, ya bahasa Indonesia saja.

Beberapa lama kemudian, saya, mas widodo, mas khum sudah berbincang dengan pak Hasyim di beranda belakang rumah dinas bupati. Saya menyampaikan program yang akan FIKT lakukan pada 3-4 Desember nanti. saya laporkan juga kalau saya sudah bertemu dengan beberapa kepala dinas untuk mengkoordinasi acara yang kami lakukan.

Kami juga minta agar pak Hasyim bisa membuka perpustakaan di Kemloko yang sekaligus akan kita jadikan acara puncak Kadang Peduli 2011. ''Minggu tanggal 4 itu saya harus ke Magelang, mengisi pengajian,'' kata pak Hasyim.Memang sudah saya duga, sebagaimana tahun lalu, setiap awal bulan pak Hasyim selalu mengisi pengajian. Maklum selain sebagai bupati, pak Hasyim ini juga sudah terkenal sebagai penceraham agama.

Akhirnya terjadi titik temu. Karena pengajiannya agak siang, maka pembukaan perpustakaan diajukan, agar dari situ pak Hasyim bisa langsung ke lokasi pengajian di Magelang. No problem. Jadi peresmian diperpustakaan yang sudah kita jadwalkan jam sepuluh pagi, nanti dimajukan menjadi jam sembilan. Begitu selesai membuka, pak Hasyim akan segera meninggalkan tempat. Sementara kita nantinya tetap di situ sampai acara benar-benar selesai.

Dari pendopo, sebelum pulang ke rumah masing-masing, kami ke rumah mas Khumaedi. Apa yang kita lakukan di sana? Makan! Saya menyamai rekor mas Widodo sehari sebelumnya, yaitu makan sebanyak tiga kali dalam selang waktu kurang dari empat jam. Makan di Wonotirto, di kondangan, dan di mas Khumaedi. Wareg dan gratis kabeh... Ketika mau pulang, masih disangoni jenang tape yang dibikin oleh keluarha mas Khumaedi. Bagi yang akan merasakan jenang tapi itu, silakan ikut rapat persiapan Kadang peduli ri rumah saya, hari minmggu besok.

Begitulah perjelanan survei persiapan KP 2011. Semoga acara pada Desember nanti berjalan lancar sesuai harapan... terimakasih..maturnuwun..@


No comments:

Post a Comment