Tuesday, February 28, 2012

Infrastruktur, Kunci Pertumbuhan

‘’Ekonomi Indonesia bisa tumbuh tujuh persen jika proyek infrastuktur berjalan lancar.’’
Begitu kata ekonom Aviliani. Apa yang dikatakan ekonom yang banyak menjadi pembicara di berbagai seminar itu benar. Jika saja berbagai proyek infrastruktur berjalan dengan baik, pertumbuhan tujuh persen, bahkan mungkin delapan persen bisa dicapai.

Sejauh ini masalah infrastruktur menjadi titik lemah Indonesia. Pertumbuhan ekonomi dan investasi yang terjadi tidak diimbangi oleh percepatan ketersersediaan infrastruktur yang memadai. Akibatnya pertumbuhan ekonomi tidak optimal. Padahal kita membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi untuk secepatnya mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

Kita prihatin setiap kali membaca berita penyeberangan Merak macet sampai belasan kilometer. Kita malu kalau melihat betapa sesaknya dan tidak terawatnya Bandara Soekarno Hatta. Kita sulit menerima masih banyaknya wilayah yang belum teraliri listrik. Dan kita prihatin dengan kapasitas pelabuhan yang kelebihan beban sehingga terkadang sebuah kapal harus bersandar berhai-hari.

Dengan melihat kondisi itu, tak heran kalau daya saing infrstruktur Indonesia masuk dalam kategori yang rendah. Berdasarkan data yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF) periode 2010-2011, skor daya saing infrastruktur kita 3,56 dan berada pada peringkat 82, jauh di bawah Korsel yang berada di posisi 18, Malaysia di peringkat 30, Thailand di urutan 35, dan Cina di ranking 50.

Infrastruktur yang kedodoran juga menciptakan ekonomi biaya tinggi. Kita coba lihat logistik misalnya, di Indonesia biaya logistik mencapai 17 persen dari total biaya produksi. Di Malaysia 8,0 persen. Filipina 7,0 persen, dan Singapura 6,0 persen. Berdasarkan Logistic Performance Index yang dirilis Bank Dunia, kondisi logistik Indonesia terus memburuk yakni di peringkat 47 pada 2007 dan merosot ke urutan 75 di 2010.

Contoh konret dari mahalnya logistik ini pernah dikemukakan oleh Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Said Didu. Berdasarkan pengalamannya, biaya pengiriman barang dari Jawa Timur ke Jakarta lebih mahal dibanding dari Thailand ke Jakarta. ‘’Kondisi itu mencerminkan buruknya infrastruktur yang berimbas ke mahalnya biaya ekonomi,’’ katanya.

Air bersih juga bisa dijadikan contoh. Seperti kita lihat masyarakat di daerah Jakarta Utara, banyak yang tidak memiliki akses air bersih, termasuk yang dari Perusahaan Air Minum (PAM). Akibatnya masyarakat yang notabene masyarakat kelas bawah yang masuk kategori tidak mampu harus membeli air bersih untuk kebutuhan mereka. Harga air tersebutr bisa empat atau bahkan lima kali lipat air PAM.

Ketidaksiapan infrastruktur juga membuat daya saing Indonesia turut terseok, bahkan ada kecenderungan menurun. Pada 2010, peringkat daya saing global (global competiticness) kita berada di posisi 44, naik belasan level dibanding sebelunya. Tapi pada 2011 justru menurun menjadi urutan ke-44. Memang dalam peringkat ini, bukan saja infrastuktur yang jadi dasar penilaian, tetapi juga tingkat korupsi dan isu kesehatan, tapi sumbangan infrastruktur cukup dominan.

Dana untuk mendukung pembangunan infrastruktur memang sangat besar. Ironisnya justru pemerintah mengalokasikan dana infrastruktur dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sangat kecil. Menurut Deputi Sarana dan Prasarana Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Dedy Priatna pada 1997, anggaran untuk infrastruktur mencapai 8,0 persen dari APBN, tetapi sejak 1998, tinggal 4,1 persen. Belakangan, alokasi infrastruktur sudah naik, tapi belum kembali seperti semula.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah dananya cekak, kesigapan dan keberanian birokrasi rendah. Ini terlihat dalam pembangunan tol misalnya, semestinya pada 2011 jalur sepanjang Jawa sudah dilewati tol. Kenyataannya, baru 2011 ini sebagian besar dikerjakan, dan selesai 2014. Pembebasan tanah menjadi kendala, dan pemerintah tak berani bertidak tegas meski untuk kepentingan umum.

Jika kita lihat postur APBN, memang terlihat tidak berimbang. Dana pendapatan yang dihimpun dari pajak rakyat itu justru dihamburkan untuk membiayai birokrasi, baik untuk gaji, maupun untuk kemewahan lain seperti bepergian ke luar negeri, mobil dinas mewah, dan berbagai tunjangan. Dana APBN kita juga tersedot untuk subsidi energi, baik lewat bahan bakar minyak (BBM) maupun listrik yang mencapai Rp 120 triliun.

Idealnya, pembiayaan untuk infrastruktur setiap tahun lima persen dari produk domestik bruto (PDB). "Kebutuhan pembiayaan infrastruktur berdasarkan minimum lima persen dari PDB tahun 2010-2014 mencapai Rp 1.924 triliun. Kemampuan pemerintah hanya sekitar Rp 560 triliun, termasuk di dalam dana alokasi khusus," kata Direktur Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas Bambang Prihartono beberapa waktu lalu.

Lantas dari mana kekurangan dana itu harus ditopang? Tentu dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), swasta dan daerah. Dari mereka diperkirakan akan memasok Rp 1.041 triliun, sehingga masih ada kekurangan Rp 323 triliun. Mau tidak mau, pemerintah harus menaikkan anggaran untuk infrastruktur tersebut. Suatu hal yang yang tidak sulit dilakukan, asal pemeirntah mau berhemat dengan memangkas biaya birokrasi yang tidak perlu dan dengan menurunkan subsidi yang tidak tepat sasaran.

Kesiapan infrastruktur ini selain mengakselerasi pertumbuhan ekonomi juga memperkecil terjadinya overheating ekonomi. Cina bisa menjadi contoh, ketika pertumbuhan ekonomi mereka mampu melesat dua dijit beberapa waktu lalu—sebelum krisis Amerika dan disusul Eropa— ekonomi tidak overheating. Kenapa? Karena infrastruktur sudah tersedia dengan baik, sehinga distribusi barang dan sarana logistik lainnya tetap lancar.

Hal seperti itulah yang semestinya bisa kita lakukan. Ini juga yang menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, yakni bagaimana pembangunan infrastruktur bisa cepat dieksekusi sehingga menciptakan pergerakan sector riil yang lebih efisien. Infrastuktur merupakan kunci dari pertumbuhan ekonomi. @ Anif Punto Utomo
Dimuat di Republika edisi 14 Desember 2011

1 comment:

  1. bener banget pak...

    Saya heran sama pemimpin negeri ini !!

    Mungkin dimata mereka Indonesia itu, hanya pulau jawa dan jakarta. dan pulau-pulau lain di Indonesia seperti terlantarkan, bertahun-tahun seperti menutup mata,...
    Tidak ada kejelasan juga, saya sering berfikir kemana ya uang pajak yang di bayarkan masyarakat, kok jalan masih saja jelek.hmmmm

    seharusnya pemerintah mulai membangun infrastruktur di daerah-daerah, bukankah daerah menyumbang anggaran paling besar untuk negara ini. tapi kenapa daerah yang berlimpah SDM nya malahan seperti zaman purba. Infrastrukturnya hanya dibangun jalan untuk perusahaan tambangnya saja, tapi untuk masyarakatnya NIHIL.

    terus juga, lihat jakarta macet bertahun-tahun, sungai tercemar, banjir di mana-mana, kemana pemerintah negeri ini ??

    malahan asyik membangun gedung BANGGAR, membelih mobil dinas mewah. apa yang sebenarnya terjadi di negara ini.

    terutama eksport GAS, padahal perusahaan di Indonesia sendiri kekurangan pasokan GAS. :?


    untuk mengatasi kemisikinan itu saya rasa sangatlah mudah, mengingat Indonesia mempunyai kekayaan alam dan laut yang sungguh maha dasyatnya bumi pertiwi kita ini.

    TINGGAL PEMIMPIN, mau tidak melakukan dari hal yang kecil seperti pembangunan di daerah.

    Ingat Indonesia ini ada 1700 pulau, dan sumatera, jawa, kalimantan, papua, sulawesi sebagai pulau besar Indonesia.

    Bukan cuma JAWA.....


    terima kasih pak, maaf kalau ada kata" yg tidak baik. salam dari anak palembang, sumatera selatan :)

    ReplyDelete