Wednesday, May 21, 2014

Makna 10 Besar Ekonomi Dunia

Oleh Anif Punto Utomo
Direktur Indostrategic Economic Intelligence

‘’Alhamdulillah ekonomi Indonesia, oleh World Bank, ditetapkan sebagai ekonomi nomor 10 di dunia.’’ Begitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mensyukuri pencapaian ekonomi Indonesia di menjelang akhir masa jabatannya.

Betul. Menurut hasil riset yang dipublikasikan International Comparation Program (ICP), berdasarkan purching power parity (PPP), ekonomi Indonesia masuk dalam urutan 10 besar ekonomi dunia. Urutan pertama diduduki Amerika, disusul Cina, India, Jepang, Jerman, Rusia, Brazil, Perancis, dan Inggris, dan kemudian Indonesia

ICP merupakan lembaga yang didirikan bersama antara Divisi Statistik PBB dan International Comparison Unit di Universitas Pensylvania pada 1968. ICP sudah beberapa kali membuat peringkat ekonomi negara berdasarkan PPP yakni pada 1970 (di 10 negara), 1973 (16), 1975 (34), 1980 (60), 1985 (64), 1993 (117), 2005 (146), dan 2011 (199).

Banyak yang menganggap pengukuran kekuatan ekonomi dengan PPP lebih mewakili karena melihat kondisi riil di berbagai negara dengan membandingkan harga. Misalnya di Indonesia harga satu kaleng Cocacola 330 ml Rp 6.800 (0.6 dolar AS), barang yang sama di Amerika 1.15 dolar AS (Rp 13.250). Jadi, orang Indonesia yang memiliki uang  0.6 dolar, sama kayanya dengan orang Amerika yang memiliki 1.15 dolar.

Dengan pengukuran berdasar PPP maka negara-negara yang tergolong sebagai negara dengan middle income seperti Cina. India, dan Indonesia, akan menempati ranking yang tinggi dibanding jika pengukuran lewat konversi.  Ranking menjadi tinggi karena harga barang di negara pendapatan menengah relatif lebih rendah dibanding negara maju.

Selama ini yang lebih sering dipublikasikan adalah peringkat  kekuatan ekonomi (produk domestik bruto-PDB) dengan konversi ke dolar AS. Jadi seluruh output dihitung dalam rupiah kemudian langsung dikonversi ke dolar. Jika diukur dengan konversi kurs, peringkat Indonesia ada di urutan 16, enam negara lain yang berada di atasnya adalah Meksiko, Kanada, Korea Selatan, Itali, Spanyol, dan Australia.

Tingginya peringkat Indonesia tak lepas dari pertumbuhan ekonomi yang berkisar 4.5-6,5 persen pada satu dekade terakhir. Pertumbuhan ekonomi yang stabil tersebut tidak lepas pula dari kestabilan politik. Meskipun kesakralan demokrasi dirusak dengan money politic pada setiap Pilkada dan Pemilu, serta gelombang kekecewaan terhadap pemerintah yang makin masif, tetapi relatif tidak menimbulkan gejolak besar.

Apa makna dari melejitnya peringkat skala ekonmi Indonesia tersebut? Di satu sisi Indonesia menjadi negara yang diperhitungkan dalam percaturan ekonomi dunia. Masuknya Indonesia sebagai negara anggota G-20 merupakan pengakuan dunia bahwa ekonomi kita tidak lagi bisa dipandang remeh. Skala ekonomi Indonesia sudah mengalahkan Belanda, negara yang 350 tahun menjajah kita.

Kemudian, sebagai negara emering country, Indonesia menjadi magnet bagi investor asing. Bagaimana tidak, di perbankan misalnya, net interest margin (NIM) di Indonesia pada 2013 lalu 4,89 persen, salah satu yang tertinggi di dunia. Di sektor komunikasi, imbal hasil bisa 20 persen. Di pasar modal, pernah ada yang menghitung, jika berinvestasi sejak 2003, sampai 2013 sudah naik sembilan  kali lipat.  Itulah kenapa Indonesia tetap menjadi tujuan investasi, baik direct maupun portfolio.

Makna lain yang tidak kalah penting adalah menjadikan pencapaian sebagai pengingat. Pengingat bahwa pencapaian didukung oleh struktur ekonomi produksi melainkan konsumsi sehingga rapuh.  Pengingat bahwa kekayaan nasional kita diperas oleh asing. Pengingat bahwa pencapaian itu hanya dinikmati menengah-atas. Pengingat bahwa sumber daya alam kita nyaris habis tidak bersisa.

Mengapa itu bisa terjadi? Karena pemerintah hanya berorientasi kepada pertumbuhan. Pertumbuhan itupun jika kita melihat ke lapangan, bukan dominan karena kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, melainkan lebih pada pertumbuhan secara alamiah. Ibaratnya pemerintah tidur saja, ekonomi kita tetap tumbuh seperti yang terjadi selama ini.

Karena pertumbuhan secara alami, maka yang terjadi adalah jika ada kesempatan lakukan eksploitasi habis-habisan. Itu yang terjadi pada pengelolaan sumber daya alam. Kita sadar bahwa pertumbuhan yang mengantarkan Indonesia masuk dalam radar ekonomi dunia itu harus mengorbankan terkurasnya kekayaan SDA seperti pertambangan, hutan, perkebunan, dll.

Pertumbuhan tersebut juga mengorbankan martabat dan kedaulatan bangsa yang  jatuh pada titik nadir karena kakuatan ekonomi yang berada di genggaman asing. Dengan penguasaan asing yang begitu dominan maka rakyat Indonesia hanya menjadi kuli di negeri sendiri. Kekayaan dihisap oleh asing sementara rakyat Indonesia hanya menerima sepahnya.

Korban lain adalah petani. Pemerintah dengan mudah mengambil keputusan impor setiap kali ada kelangkaan bahan pangan. Pemerintah tidak memikirkan bagaimana membina dan memberdayakan petani dan sektor pertanian agar petani makamur dan tidak tergantung kepada asing. Kita harusnya malu, Indonesia dengan wilayah luas dan tanah yang subur, tidak mampu mandiri di bidang pangan.

Indonesia harus memiliki arah yang jelas dalam pembangunan ekonomi. Kebijakan yang selama ini nihil semangat nasionalisme harus dikoreksi. Kita tidak bisa hidup terus menerus dengan pertumbuhan ekonomi yang mengorbankan rakyat. Ekonomi neoliberal yang mengagungkan pasar bebas dan padat modal harus direvolusi menjadi ekonomi yang mandiri, berdaulat, dan prorakyat.

Perekonomian yang mandiri adalah ketika kita tidak menggantungkan hidup kita dari negara lain. Selama ini perekonomian kita nyaris disangga oleh impor. Bahkan dua hal strategis yakni pangan dan energi kita masih tergantung pada asing. Pangan seperti beras, jagung, kedelai, sampai garam, kita impor. Begitu juga energi, kita impor minyak 500-600 barel per hari, sementara batubara yang bisa menjadi sumber energi pengganti justru diekspor.


Kedaulatan ekonomi kita pantas juga untuk dipertanyakan. Lembaga asing seperti Bank Dunia dan IMF, serta lembaga swasta asing terlalu kuat peranannya daam menentukan arah perekonmoian kita. Kepentngan asing dinomorsatukan, merea dibantu para pemburu rente yang lebih mementinkan diri sendiri dibanding negara.

Ekonomi rakyat juga tidak diperhatikan. Jutaan usaha kecil dibiarkan bersaing dengan usaha besar. Bahwa pemerintah sudah memberikan program pemberdadyaan seperti PNPM betul tapi pelaksanaannya tidak terarah, sehingga sebagian besar tidak sampai kepada yang berhak. Tidak ada keseriusan untuk mengangkat ekonomi rakyat, padahal merekalah penyelamat pengangguran.

Pemerintah selalu mengatakan bahwa perekonomian kita on the track alias berada di jalur yang benar. Tak bukah jika kita berada pada jalur yang benar, mungkinkah masuk 10 besar ekonomi dunia tetapi indeks pembangunan manusia berada di urutan 121 dari 186 negara? Mungkinkah masih ada 28,5 juta (BPS per September 2013) rakyat yang hidup miskin. Mungkinkah pula menjadi salah satu negara dengan kesenjangan tertinggi di dunia dengan indeks gini 0,413.

Begitulah kondisi ekonomi Indonesia. Dari luar tampak luar biasa, sedangkan dari dalam masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan. Maka masuknya Indonesia di 10 besar perekonomian dunia bisa dimaknai ganda yakni membanggakan dan memprihatinkan.@


No comments:

Post a Comment