Oleh Anif Punto Utomo
Gejolak rupiah dan gonjang-ganjing pasar modal memaksa
pemerintah berpikir keras untuk mengatasinya.
Ketika dolar sudah menembus angka psikologis Rp 10.000, menteri keuangan
masih tenang-tenang saja menanggapinya. Baru ketika sudah menyentuh posisi Rp
11.000 per dolar, dan para pelaku ekonomi berteriak, pemerintah bereaksi.
Akhirnya terbitlah paket kebijakan ekonomi yang terdiri atas
empat hal pokok yakni memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar,
menjaga pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas harga dan inflasi, dan mempercepat
investasi.
Apakah paket ini bisa menjadi senjata ampuh untuk menahan
depresiasi rupiah? Yang jelas pemerintah harus all out karena dalam APBNP 2013, rupiah dipatok Rp 9.600 per dolar
AS, sementara belakangan ini berkisar antara Rp 10.500 sampai Rp 10.800 per
dolar. Pada RAPBN 2014, dipatok Rp 9.750 per dolar. Tahun ini jelas tidak akan tercapai, boleh
jadi tahun depan juga sulit.
Rupiah memang sedang diuji. Wakil Presiden Budiono tidak
terima kalau dikatakan bahwa rupiah melemah, dia merasa lebih nyaman jika
dikatakan dolar menguat. Alasannya, kurs dolar menguat hampir terhadap seluruh
mata uang. Masalahnya ketika negara tetangga depresiasinya dibawah lima persen,
Indonesia sudah 10 persen, jadi bukan saja dolar, tapi rupiah memang juga
melemah.
Jika melihat gejalanya ada tiga hal yang menjadikan rupiah
melemah. Pertama karena sentimen pasar, kedua situasi gobal, dan ketiga
fundamental ekonomi dalam negeri kita. Ketiga faktor tersebut menyatu sehingga
depresiasi rupiah jauh melebihi negara lain, kecuali India yang pelemahannya
sampai di atas 20 persen.
Pertama faktor sentimen ini sangat subyektif, karena sangat
terkait dengan situasi psikologis pasar. Ada pernyataan dari tokoh keuangan,
bisa menggoncang pasar. Persepsi menjadi nabinya sentimen pasar.
Kedua faktor global, ini sangat terkait dengan kebijakan
bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Tadinya The Fed merangsang ekonomi
dengan melakukan kebijakan quantitatve
easing yakni memborong obligasi pemerintah sebanyak 85 miliar per dolar per
bulan. Stimulus ekonomi berupa pelonggaran likuditas tersebut memberi gairah kepada ekonomi
Amerika, pengangguran yang selama ini jadi momok Presiden Obama pun mulai
berkurang.
Kini setelah stimulus dirasa cukup, Amerika akan melakukan tapering, yakni mengurangi pembelian
obligasi pemerintah dari 85 miliar dolar menjadi 60-65 miliar dolar per
bulan. Rencana pengetatan ini membuat
para investor global menarik investasi portofolionya di negara emerging market seperti Indonesia,
India, Cina, Turki, Brazil, dll. Penarikan mendorong pelemahan mata uang
masing-masing negara.
Ketiga adalah faktor fundamental ekonomi. Kita lihat inflasi,
efek dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan ketidakmampuan pemerintah
menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan, inflasi year on year (yoy) Juli 2012-Juli 2013 mencapai 8,3 persen. inflasi
itu didorong oleh sektor pangan (volatile
foods) dan barang yang diatur pemerintah (administrated goods). Inflasi yang melejit di atas inflasi di
Amerika akan mendepresiasi rupiah.
Berikutnya neraca pembayara dan transaksi berjalan. Sejak memasuki triwulan III tahun 2011,
keduanya sudah menunjukkan trend
memburuk, bahkan transaksi berjalan sudah mulai negatif. Kondisi terus memburuk
sampai triwulan II tahun 2013, neraca
pembayaran mengalami defisit 9,848 miliar dolar dan transaksi berjalan defisit
2,477 miliar dolar.
Celakanya, meskipun defisit itu sudah berlangsung satu
setengah tahun pemerintah nyaris tidak berbuat apa-apa, menanggapi itu sebagai
hal biasa. Padahal dari situasi itu permintaan dolar menguat yang mengakibatkan
rupiah melemah. Turunnya rupiah mulai
terlihat pada awal tahun ini, selama itu pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan
untuk menahan laju depresiasi.
Konsekuensinya, karena tak ingin rupiah terus terpuruk, Bank
Indonesia (BI) kemudian melakukan intervensi yang ujung-ujungnya menguras
cadangan devisa. Pada Maret 2013, cadangan devisa masih 105,1 miliar dolar,
empat bulan kemudian, pada Juli sudah tergerus menjadi 92,7 miliar dolar.
Meskipun pemerintah masih bicara aman, tapi pasar sudah bereaksi negatif
terhadap data itu.
Pertanyaanya, apakah pelemahan rupiah itu bisa diatasi
dengan beleid kebijakan yang banyak dianggap miskin terobosan itu? Dari sisi
materi ada yang perlu diapresiasi, tapi hasilnya sangat tergantung dari
pemerintah menjaga konsistensi pelaksanaan kebijakan tersebut. Pengalaman
selama ini, pemerintah hanya pandai membuat rencana dan berwacana.
Konversi BBM ke gas misalnya, sudah diwacanakan sejak tiga
tahun lalu, tapi sampai sekarang tidak ada langkah konkretnya. Baik Presiden,
Menko Ekonomi, menteri ESDM, semua hanya berwacana, tidak ada eksekutor yang
berani bertanggungjawab untuk pelaksanaan itu.
Ini yang kita khawatirkan. Misalnya dalam paket kebijakan
itu ada kenaikan penggunaan biodisel dari lima persen menjadi 20 persen, mestinya
tidak hanya jadi wacana , tapi harusnya ada seorang martir yang menjalankannya.
Begitu juga dalam hal percepatan investasi yang
langkah-langkahnya berupa penyederhanaan perijinan dan pelayanan satu atap,
mempercepat peraturan daftar negetif investasi (DNI) yang lebih ramah pada
investor, dan mempercepat program investasi berbasis agro dan tambang dengan
memberikan insentif berupa tax holiday
dan tax allowance.
Bukankah langkah semacam itu sudah sering diwacanakan.
Apalagi untuk penyederhanaan perijinan dan pelayanan satu atap, itu sudah menjadi
proram prioritas sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi presiden
periode pertama sembilan tahun lalu, tapi tetap jalan ditempat.
Pemerintahan sekarang ini banyak diduduki oleh orang-orang
yang pintar. Sayang mereka tipe safety
player (mencari aman), padahal untuk membenahi negara ini kita butuh
seorang risk taker. Berani mengambil
risiko, berani membuat kebijakan nonpopulis
dan berani memutuskan. Jika para
pemimpin tidak berubah menjadi risk taker,
paket kebijakan itu akan tumpul dan jalan di tempat.@
Anif Punto Utomo,
Direktur Indostrategic Economic Intelligence
No comments:
Post a Comment