Wednesday, May 14, 2014

Paket Ekonomi Tumpul

Oleh Anif Punto Utomo

Gejolak rupiah dan gonjang-ganjing pasar modal memaksa pemerintah berpikir keras untuk mengatasinya.  Ketika dolar sudah menembus angka psikologis Rp 10.000, menteri keuangan masih tenang-tenang saja menanggapinya. Baru ketika sudah menyentuh posisi Rp 11.000 per dolar, dan para pelaku ekonomi berteriak, pemerintah bereaksi.

Akhirnya terbitlah paket kebijakan ekonomi yang terdiri atas empat hal pokok yakni memperbaiki defisit transaksi berjalan dan nilai tukar, menjaga pertumbuhan ekonomi, menjaga stabilitas harga dan inflasi, dan mempercepat investasi.

Apakah paket ini bisa menjadi senjata ampuh untuk menahan depresiasi rupiah? Yang jelas pemerintah harus all out karena dalam APBNP 2013, rupiah dipatok Rp 9.600 per dolar AS, sementara belakangan ini berkisar antara Rp 10.500 sampai Rp 10.800 per dolar. Pada RAPBN 2014, dipatok Rp 9.750 per dolar.  Tahun ini jelas tidak akan tercapai, boleh jadi tahun depan juga sulit.

Rupiah memang sedang diuji. Wakil Presiden Budiono tidak terima kalau dikatakan bahwa rupiah melemah, dia merasa lebih nyaman jika dikatakan dolar menguat. Alasannya, kurs dolar menguat hampir terhadap seluruh mata uang. Masalahnya ketika negara tetangga depresiasinya dibawah lima persen, Indonesia sudah 10 persen, jadi bukan saja dolar, tapi rupiah memang juga melemah.  

Jika melihat gejalanya ada tiga hal yang menjadikan rupiah melemah. Pertama karena sentimen pasar, kedua situasi gobal, dan ketiga fundamental ekonomi dalam negeri kita. Ketiga faktor tersebut menyatu sehingga depresiasi rupiah jauh melebihi negara lain, kecuali India yang pelemahannya sampai di atas 20 persen.
Pertama faktor sentimen ini sangat subyektif, karena sangat terkait dengan situasi psikologis pasar. Ada pernyataan dari tokoh keuangan, bisa menggoncang pasar. Persepsi menjadi nabinya sentimen pasar.

Kedua faktor global, ini sangat terkait dengan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Tadinya The Fed merangsang ekonomi dengan melakukan kebijakan quantitatve easing yakni memborong obligasi pemerintah sebanyak 85 miliar per dolar per bulan. Stimulus ekonomi berupa pelonggaran likuditas  tersebut memberi gairah kepada ekonomi Amerika, pengangguran yang selama ini jadi momok Presiden Obama pun mulai berkurang.

Kini setelah stimulus dirasa cukup, Amerika akan melakukan tapering, yakni mengurangi pembelian obligasi pemerintah dari 85 miliar dolar menjadi 60-65 miliar dolar per bulan.  Rencana pengetatan ini membuat para investor global menarik investasi portofolionya di negara emerging market seperti Indonesia, India, Cina, Turki, Brazil, dll. Penarikan mendorong pelemahan mata uang masing-masing negara.

Ketiga adalah faktor fundamental ekonomi. Kita lihat inflasi, efek dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan ketidakmampuan pemerintah menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan pasokan, inflasi year on year (yoy) Juli 2012-Juli 2013 mencapai 8,3 persen. inflasi itu didorong oleh sektor pangan (volatile foods) dan barang yang diatur pemerintah (administrated goods). Inflasi yang melejit di atas inflasi di Amerika akan mendepresiasi rupiah.

Berikutnya neraca pembayara dan transaksi berjalan.  Sejak memasuki triwulan III tahun 2011, keduanya sudah menunjukkan trend memburuk, bahkan transaksi berjalan sudah mulai negatif. Kondisi terus memburuk sampai triwulan  II tahun 2013, neraca pembayaran mengalami defisit 9,848 miliar dolar dan transaksi berjalan defisit 2,477 miliar dolar.

Celakanya, meskipun defisit itu sudah berlangsung satu setengah tahun pemerintah nyaris tidak berbuat apa-apa, menanggapi itu sebagai hal biasa. Padahal dari situasi itu permintaan dolar menguat yang mengakibatkan rupiah melemah.  Turunnya rupiah mulai terlihat pada awal tahun ini, selama itu pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan untuk menahan laju depresiasi.

Konsekuensinya, karena tak ingin rupiah terus terpuruk, Bank Indonesia (BI) kemudian melakukan intervensi yang ujung-ujungnya menguras cadangan devisa. Pada Maret 2013, cadangan devisa masih 105,1 miliar dolar, empat bulan kemudian, pada Juli sudah tergerus menjadi 92,7 miliar dolar. Meskipun pemerintah masih bicara aman, tapi pasar sudah bereaksi negatif terhadap data itu.

Pertanyaanya, apakah pelemahan rupiah itu bisa diatasi dengan beleid kebijakan yang banyak dianggap miskin terobosan itu? Dari sisi materi ada yang perlu diapresiasi, tapi hasilnya sangat tergantung dari pemerintah menjaga konsistensi pelaksanaan kebijakan tersebut. Pengalaman selama ini, pemerintah hanya pandai membuat rencana dan berwacana.

Konversi BBM ke gas misalnya, sudah diwacanakan sejak tiga tahun lalu, tapi sampai sekarang tidak ada langkah konkretnya. Baik Presiden, Menko Ekonomi, menteri ESDM, semua hanya berwacana, tidak ada eksekutor yang berani bertanggungjawab untuk pelaksanaan itu.

Ini yang kita khawatirkan. Misalnya dalam paket kebijakan itu ada kenaikan penggunaan biodisel dari lima persen menjadi 20 persen, mestinya tidak hanya jadi wacana , tapi harusnya ada seorang martir  yang menjalankannya.  

Begitu juga dalam hal percepatan investasi yang langkah-langkahnya berupa penyederhanaan perijinan dan pelayanan satu atap, mempercepat peraturan daftar negetif investasi (DNI) yang lebih ramah pada investor, dan mempercepat program investasi berbasis agro dan tambang dengan memberikan insentif  berupa tax holiday dan tax allowance.

Bukankah langkah semacam itu sudah sering diwacanakan. Apalagi untuk penyederhanaan perijinan dan pelayanan satu atap, itu sudah menjadi proram prioritas sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi presiden periode pertama sembilan tahun lalu, tapi tetap jalan ditempat.

Pemerintahan sekarang ini banyak diduduki oleh orang-orang yang pintar. Sayang mereka tipe safety player (mencari aman), padahal untuk membenahi negara ini kita butuh seorang risk taker. Berani mengambil risiko, berani membuat kebijakan nonpopulis  dan berani memutuskan.  Jika para pemimpin tidak berubah menjadi risk taker, paket kebijakan itu akan tumpul dan jalan di tempat.@
Anif Punto Utomo, Direktur Indostrategic Economic Intelligence


No comments:

Post a Comment