Oleh : Anif
Punto Utomo
Tahun 2013 sebentar lagi usai. Masyarakat akan
menyambut pergantian tahun dengan kegembiraan. Bagi yang banyak uang, mereka
akan berpesta di hotel-hotel berbintang menonton penyanyi atau grup musik kelas
dunia. Untuk masyarakat yang ekonominya pas-pasan, cukup menggembirakan diri di
panggung rakyat yang digelar pemerintah daerah.
Bagi yang ingin membahagiakan hati bisa hadir di
Zikir Akhir Tahun yang secara rutin ditradisikan Republika. Dengan zikir kita
diajak untuk bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan kepada kita. Pada
hakikatnya orang yang mampu terus bersyukur, dia bukan hanya memperoleh
kegembiraan, tetapi juga kebahagiaan sejati.
Rakyat memang perlu gembira, meski sesaat.
Setidaknya itu untuk menutupi kekecewaan terhadap kinerja ekonomi pemerintah
yang buruk tahun ini. Berbagai indikator ekonomi yang tidak menggembirakan itu
pada ujungnya membuat kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia bertambah
sengsara. Kehidupan semakin sulit karena harga-harga kian tak terjangkau.
Ketika berbicara tentang kehidupan yang semakin
sengsara, berarti kita tidak membicarakan kelas menengah yang jumlahnya
130 juta. Kita juga tidak membicarakan konglomerat yang beberapa di antaranya
sudah masuk peringkat orang terkaya dunia. Apalagi membicarakan koruptor yang
mencuri uang rakyat sampai ratusan miliar rupiah. Tapi, yang kita bicarakan
adalah rakyat miskin yang berdasarkan data BPS berjumlah 28,07 juta, dan juga
70-an juta rakyat hampir miskin.
Indikator buruk yang paling nyata adalah naiknya
harga bahan pokok makanan. Kenaikan ini tecermin dari tingginya angka inflasi
di mana sampai November sudah mencapai 7,79 persen. Desember ini berbarengan
dengan adanya Natal dan Tahun Baru, biasanya inflasi relatif tinggi sehingga
sudah pasti inflasi tembus delapan persen.
Indikator lain adalah defisit perdagangan di
mana sampai Oktober silam mencapai 6,36 miliar dolar AS. Defisit terjadi karena
ekspor melambat, sementara impor naik secara konsisten. Naiknya jumlah kelas
menengah ternyata ikut mendorong kenaikan impor, karena sebagian kebutuhan
mereka harus produk asing. Di sisi lain ekspor kita mengandalkan bahan mentah
seperti CPO, batu bara, an kakao yang rentan terhadap fluktuasi harga.
Defisit perdagangan tersebut mendorong
terjadinya defisit transaksi berjalan. Setelah beberapa tahun nyaris tidak
pernah ada persoalan transaksi berjalan, sejak 27 bulan terakhir, defisit
transaksi berjalan menjadi momok perekonomian Indonesia.
Defisit transaksi berjalan terjadi karena neraca
perdagangan defisit plus repatriasi laba perusahaan asing, pembayaran utang
luar negeri, baik swasta maupun pemerintah, yang belasan miliar dolar. Sampai
Oktober silam, posisi defisit transaksi berjalan 8,449 miliar dolar AS atau
3,78 persen PDB (produk domestik bruto) di mana idealnya di bawah tiga persen
PDB.
Defisit transaksi berjalan yang berlangsung
terus-menerus menyebabkan permintaan terhadap dolar naik. Ketika permintaan
terhadap dolar naik, kurs dolar terkerek. Itulah yang kemudian menjadikan
rupiah merosot sehingga pada pekan ketiga Desember ini posisinya Rp 12.245 per
dolar AS, posisi terburuk sejak 28 November 2008 yang berada di Rp 12.650 per
dolar AS. Dengan posisi sekarang berarti dalam satu tahun, per awal Januari
2013,rupiah terdepresiasi 20 persen.
Pada posisi itu pun sebetulnya tidak diperoleh
dengan gratis, karena Bank Indonesia (BI) harus melakukan intervensi. Dari mana
BI mendapatkan uang untuk intenvensi, tidak lain dari cadangan devisa, karena
itulah cadangan devisa terus tergerus. November lalu posisi cadangan devisa
99,96 miliar dolar AS, jauh lebih rendah dibanding Desember 2012 yang 112,78
miliar dolar AS. Bandingkan dengan Cina yang tahun ini 3,32 triliun dolar AS.
Selain melakukan intervensi, BI juga menaikkan
BI Rate dari 7,0 persen menjadi 7,25 persen pada Oktober 2013. Tapi, rupanya
kombinasi intervensi dan kenaikan BI Rate tidak memiliki pengaruh kuat sehingga
rupiah tetap terpuruk. Celakanya, meskipun rupiah terdepresiasi, ekspor tidak
bisa naik tajam, sehingga defisit transaksi berjalan masih tetap menghantui.
Mengurangi defisit transaksi berjalan lewat
peningkatan perdagangan tidak bisa cepat, untuk itu BI mengambil langkah
praktis yakni menaikkan BI Rate menjadi 7,50 persen. Konsekunesinya, bunga
simpanan akan naik, yang kemudian disusul bunga pinjaman. Pengusaha kelabakan
karena terbebani kenaikan upah minimum dan kenaikan bunga kredit. Mereka
akan meresponsnya dengan menaikkan harga, dan ujung-ujungnya rakyat yang harus
menanggungnya.
Kenaikan harga barang akan mendorong inflasi.
Ketika inflasi terus tinggi, maka mereka yang berpenghasilan tetap dan
berpenghasilan pas-pasan akan semakin sulit. Akibatnya, kesenjangan akan
semakin tinggi. Tahun ini indeks Gini yang merepresentasikan kesenjangan
mencapai 0,42, itu merupakan indeks terburuk sepanjang sejarah republik ini
berdiri.
Melihat indikator-indikator di atas bisa
dikatakan bahwa tahun 2013 ini menjadi tahun kelabu ekonomi bagi pemerintahan
SBY-Budiono. Bahwa pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih bisa 5,7 persen
(tertinggi di dunia setelah Cina), tapi pencapaian itu di bawah pertumbuhan
2012 yang 6,2 persen, dan juga di bawah prediksi semula yang 6,3 persen.
Pelajaran penting dari kelabunya perekonomian
2013 ini adalah pemerintah tidak konsisten dalam kebijakan dan tidak berani
mengeksekusi kebijakan yang tidak populis. Pemerintah lebih suka bermain di
sektor fiskal dan moneter dibanding sektor riil yang berisiko terhadap pencitraannya.
Jika berani melakukan terobosan mengurangi konsumsi migas, misalnya, separuh
dari persoalan defisit perdagangan selesai, mengingat impor migas sampai
Oktober rata-rata 3,71 miliar dolar AS per bulan.
Tahun depan situasi ekonomi dihadapkan pada pengurangan
stimulus moneter Amerika Serikat sehingga akan mengancam penarikan dana global.
Dari dalam negeri, penyelenggaraan pemilu membuat makin banyak uang yang
beredar di masyarakat termasuk dari money politics, sehingga berpotensi
inflasi. Dan yang jelas konsentrasi kabinet terkuras untuk pemilu, persoalan
ekonomi akan terlupakan.@
Dimuat di Opini Republika, 24 Desember 2013
No comments:
Post a Comment