Tuesday, May 27, 2008

The Rise and Fall of the Soehartonomic (1)
Era Baru, Ekonomi Menjadi Panglima

Oleh Anif Punto Utomo

Hamengku Buwono IX, April 1966:Dalam tahun 1965 harga-harga pada umumnya naik 500 persen, sesungguhnya harga beras melonjak dengan lebih dari 900 persen. Kecuali jika diambil langkah-langkah untuk mengoreksinya, harganya bisa membumbung lebih dari 1.000 persen dalam 1966. Dalam tahun 1950-an, anggaran negara memikul defisit antara 10 sampai 30 persen dari penerimaannya, dan dalam 1960-an defisit meningkat menjadi lebih dari 100 persen. Dalam tahun 1965, ia bahkan mencapai 300 persen.

Kondisi ekonomi seperti itu yang dihadapi oleh Letjen Soeharto sesaat setelah dia mendapat mandat dari Presiden Soekarno lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966. Lewat mandat tersebut, Soeharto diberi wewenang untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Sebagaimana ditulis Yahya Muhaimin dalam buku ‘Bisnis dan Politik’, perekonomian nasional saat itu nyaris ambruk. Inflasi ratusan persen, utang luar negeri 2,4 miliar dolar, infrastruktur berantakan, kapasitas produksi industri dan ekspor merosot tajam, pengawasan anggaran tidak menentu.

Dalam hal neraca perdagangan, dari tahun ke tahun menuju 1966, posisi defisit terus membengkak. Untuk mengatasi defisit, didatangkan kredit luar negeri. Tapi itupun tidak mencukupi sehingga harus menguras cadangan emas dan devisa. Ketika masih tetap tidak cukup, pemerintah berutang kembali. Itulah yang menyebabkan utang asing membesar.

Begitu pula dalam anggaran belanja negara. Defisit pada 1961 sekitar Rp 23,5 miliar, pada 1965 menjadi Rp 1,32 triliun, dan pada 1966 (triwulan I) sudah defisit Rp 2,13 triliun. Mengatasi defisit ini pemerintah dengan sewenang-wenang mencetak uang baru. Akibatnya uang beredar menjadi berlimpah, uang menjadi tiada berharga, maka barang kebutuhan secara otomatis harganya menjadi naik.

Warisan tersebut bisa dimaklumi, karena pada saat Soekarno berkuasa, politik menjadi panglima dalam berbangsa dan bernegara. Ekonomi hanya diletakkan sebagai subsistem pembangunan politik. Kemerosotan ekonomi bukan dijawab dengan langkah penyelamatan, melainkan dengan slogan-slogan revolusioner.

Situasi ekonomoyang corat-marut itulah mendorong aksi mahasiswa yang dikenal dengan Tritura (tiga tuntutan rakyat) pada awal 1966. Tiga tuntutan itu adalah ‘Turunkan harga’, ‘Retool Kabinet’, dan ‘Bubarkan PKI’. Eskalasi kekecewaan rakyat makin memuncak, panggung politik makin kacau, sampai akhirnya dikeluarkannya Supersemar.

Malapetaka ekonomi tersebut menjadi perhatian khusus Soeharto. Karena itu prioritas utama dalam kepemimpinannya adalah pemulihan roda perekonomian. Selanjutnya, pada masa pemerintahannya yang dia sebut Orde Baru (periode Soekarno otomatis disebut dengan Orde Lama), ekonomi menjadi pegangan utama. Paradigma politik sebagai panglima pada masa Soekarno digeser dengan menempatkan ekonomi menjadi panglima.

Dengan kekuasaannya, Soeharto segera membuat langkah-langkah cepat dan strategis. Dia undang ekonom-ekonom dari Universitas Indonesia (UI) seperti Widjojo Nitisastro, Emil Salim, Mohammad Sadli, dan Frans Seda. Mereka kelak menjadi arsitek ekonomi Orde Baru. Kemampuan mereka dipadukan dengan tenaga profesional yang selama itu memiliki hubungan dekat dengan Angkatan Darat.

Para ekonom UI tersebut, terutama Widjojo, karena dia lulusan Universitas Berkeley di Amerika Serikat, dia kemudian disebut-sebut membawa misi Berkeley yang tak lain adalah Amerika Serikat. Saat itu juga lantas muncul istilah Mafia Berkeley, yakni sekelompok orang lulusan Berkeley yang memiliki ‘kekuasaan’ dalam mengatur perekonomian negara.

Kolaborasi antara para teknokrat ekonom dan Angkatan Darat tersebut terlihat dalam seminar Angkatan Darat II di Bandung pada 25-31 Agustus 1966. Masalah ekonomi dan politik, serta peran Angkatan Darat menjadi titik sentral dalam pembahasannya. Sebagian besar pula, hasil seminar itu menjadi landasan pembangunan ekonomi Indonesia.

Langkah berikutnya, dari hasil pengkajian dengan para ekonom yang tergabung dalam Dewan Stabilisasi Ekonomi, pada Oktober 1966, Soeharto mengeluarkan Program Stabilisasi dan Rehabilitasi Ekonomi Pemerintah Orde Baru. Tujuannya, untuk menata kembali sistem perekonomian yang dilanda malapetaka.

Program tersebut dilaksanakan dengan skala prioritas : (1) pengendalian inflasi, (2) pencukupan kebutuhan pangan, (3) rehabilitasi prasarana ekonomi, (4) peningkatan ekspor, dan (5) pencukupan kebutuhan sandang.

Hasil dari program tersebut cukup fantastis. Laju inflasi mulai jinak, dari posisi sekitar 650 persen pada 1966, turun drastis menjadi 100 persen (1967), turun lagi 50 persen (1968), bahkan terkendali pada 1969 sudah di posisi 13 persen (1969).’’Ini prestasi yang diraih pemerintah saat itu,’’ ujar Emil Salim dalam sebuah seminar sewindu silam.

Dalam bidang pangan, terutama masalah perberasan, program Bimas (bimbingan masal yang menyediakan kredit dan paket sarana produksi bagi petani) yang sudah dirancang masa Orde Lama diintensifkan. Intensifikasi tersebut mampu menaikkan hasil produksi beras, terutama di Jawa yang menjadi wilayah utama program Bimas.

Di sisi lain, kebijakan ekonomi pada masa Orde Lama yang menutup diri terhadap modal asing, oleh Soeharto mulai dibuka. Maka sejak 1966 sebagaimana tertulis pada buku ‘Ekonomi Orde Baru’ yang disunting oleh Anne Booth dan Peter McCawley, Indonesia sudah meninggalkan sikap melihat ke dalam (inward looking) dan mulai melihat keluar (outward looking). Ini adalah pilihan pragmatis.

Realisasi dari outward looking itu adalah diberlakukannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) pada 10 Januari 1967. Harapannya, investor asing akan pendorong investasi dan menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan ekonomi dikala perekonomian Indonesia masih tepuruk.

Lahirnya UU tersebut tidak lepas dari ‘nasehat’ dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang kembali digaet sebagai ‘mitra’. Beberapa nasehat di antaranya adalah bahwa kekuatan pasar akan memainkan peran yang vital dalam stabilitas ekonomi dan sektor swasta harus diberi dorongan dengan jalan menghapuskan pembatasan lisensi impor terhadap bahan baku dan perlengkapannya.

Selain itu, pemerintah Orde Baru juga menengok sumber-sumber dana asing untuk memperoleh sarana dalam mengatasi masalah kemandegan ekonomi, inflasi, dan kekacauan infrstruktur. Saat itu dibentuklah Inter-Government Group on Indonesia (IGGI), sebuah organisasi negara kreditor, yang bertujuan untuk menjadwalkan kembali utang pemerintah Indonesia.

Strategi outward looking tersebut, memang pada gilirannya membuat kepercayaan asing terhadap Indonesia meningkat. Dalam waktu tidak lama, kucuran pinjaman sudah bisa dinikmati. Begitu pula investasi asing, meskipun masih banbyak keluhan mengenai birokrasi, sudah mulai masuk. Ekonomi sedikit demi sedikit mulai bergairah.

Dari berbagai strategi kebijakan yang diambil pemerintah Orde Baru tersebut, dalam waktu yang relatif singkat sudah cukup menstabilkan kondisi ekonomi. Setidaknya, problematika ekonomi sudah terurai, sebagian sudah tertata, dan sebagian lain menjadi tantangan berikutnya.

Seperti ditulis Mohammad Sadli di Kompas edisi 31 Desember 1968: Selama 1967 dan 1968 pemerintah telah berhasil banyak untuk mengubah kebijakan umum yang mengatur ekonomi. Pemerintah telah berhasil banyak mengubah spelregels (tata tertib) ekonomi ke arah yang sehat dan rasional. Untuk usaha stabilitas, sebetulnya belum cukup tetapi sudah berarti banyak.

@Dimuat di Republika edisi 28 Januari 2008

No comments:

Post a Comment