Tuesday, May 27, 2008

SBY-JK Versus Nasi Aking

Saat ini setidaknya ada 36,8 juta penduduk Indonesia yang hidup miskin. Anda tahu bagaimana orang disebut miskin? Yakni jika pengeluaran per bulan dibawah Rp 167 ribu. Garis batas kemiskinan itu setara dengan harga T-Bone steak di restoran di kawasan Sudirman, Jakarta.

Jumlah itu bisa jadi bertambah jika kita lihat dalam empat bulan terakhir ini harga kebutuhan pokok naik signifikan. Terbukti laju inflasi dalam kuartal pertama ini sudah 4,1 persen. Dengan adanya kenaikan harga, sementara pendapatan mereka relatif tetap, maka yang sebelumnya nyaris miskin menjadi benar-benar miskin.

Bahwa dalam kurun yang sama pertumbuhan ekonomi diperkirakan 6,2 persen itu betul. Tetapi perlu diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi dalam dua-tiga tahun belakangan ini hanya dinikmati kalangan menengah atas. Sedangkan rakyat bawah gigit jari. Ini terbukti dari indeks koefisien Gini yang makin besar. Pada 2003, indeks ini di posisi 0,341, pada 2007 sudah di posisi 0,376. Makin besar indeks, kesenjangan makin tinggi.

Bukti konkretnya, dalam empat bulan terakhir ini, penjualan mobil naik 60 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Setiap bulan terjual 51 ribu mobil. Di sisi lain, upah minimal regional, kalau ini bisa jadi patokan, tidak naik. Di banyak daerah, baik di kota maupun di pedesaan, rakyat mulai mengurangi jatah makan.

Dalam kondisi seperti itu, apa jadinya kalau kemudian bahan bakar minyak (BBM) dinaikkan?Jelas bahwa kenaikan harga, terutama harga bahan pangan, tidak akan terbendung. Sekarang saja, akibat krisis pangan dunia dan ditambah dengan spekulasi pedagang, harga sudah merangkak naik, apalagi nanti ketika BBM benar-benar naik. Kehidupan akan makin berat dirasakan masyarakat.

Bisa dipastikan bahwa angka kemiskinan akan bertambah. Ada yang memperkirakan kemiskinan akan membengkak menjadi 52,4 juta. Menko Kesra, Aburizal Bakrie, boleh saja bilang bahwa angka kemiskinan justru akan turun karena rakyat miskin akan diberi bantuan langsung tunai (BLT) Plus, yaitu uang tunai dan sembako. Tapi mustahil dana Rp 100 ribu plus sembako itu bisa mengangkat sebuah keluarga lepas dari jerat kemiskinan.

Saat ini saja, kasus gizi buruk dengan bayi-bayi yang kurus kering tak berdaya sudah terjadi di mana-mana. Di beberapa daerah, karena tidak mampu beli beras, banyak rakyat mulai mengkonsumsi nasi aking, yakni nasi basi yang dikeringkan kemudian dinanak kembali. Nasi aking, yang biasanya dikonsumsi itik, kini menjadi makanan utama manusia. Kalau harga beras paling murah Rp 4.000, beras aking masih Rp 1.000 per kg.

Tapi kita coba kita lihat fakta lain. Seorang eksekutif di Jakarta, dia bergaji sekitar Rp 10 juta, istrinya juga punya usaha yang taruhlah bisa menambah Rp 5 juta. Jadi, per bulan minimal keluarga itu berpenghasilan Rp 15 juta. Dia punya dua mobil, satu untuk ke kantor dan satu untuk keperluan keluarga, termasuk mengantar anak-anak sekolah. Mobil yang untuk ke kantor diisi dengan Pertamax. Oke, jadi tanpa subsidi.

Mobil satunya dia isi dengan premium. Setiap bulan mobil itu menghabiskan sekitar 200 liter, dengan harga premium Rp 4.500 per liter. Berarti, setiap bulan dia mengeluarkan Rp 900 ribu untuk bahan bakar. Premium adalah BBM bersubsidi, jika tanpa subsidi, harganya sekitar Rp 8.000 per liter. Dengan begitu setiap liter yang dibeli, eksekutif itu mendapat subsidi Rp 3.500. Jika tiap bulan pemakaian premium 200 liter, berapa negara menyubsidi dia? Rp 700 ribu!

Pertanyaannya, pantaskah seseorang yang berpendapatan Rp 15 juta per bulan memperoleh subsidi Rp 700 ribu per bulan dari negara? Siapa yang salah? Bukan eksekutif itu, karena memang tidak ada larangan membeli premium, tetapi negara yang salah. Pemerintah yang salah, karena memberikan subsidi kepada yang tidak berhak.

Menaikkan harga BBM memang dilema. Di satu sisi jika BBM dinaikkan jutaan rakyat akan makin susah hidupnya. Akan makin banyak pula anak-anak yang tidak sekolah, karena orangtuanya makin tidak mampu membiayai. Pengangguran juga akan makin membengkak karena pertumbuhan usaha seret. Bahkan mungkin muncul kelaparan.

Tetapi di sisi lain jika tidak dinaikkan, subsidi akan jatuh ke orang yang salah. Barangkali benar hitungan pemerintah bahwa 82 persen atau sekitar Rp 104 triliun penerima subsidi itu orang menengah ke atas yang memiliki mobil. Ada puluhan triliun rupiah yang dihamburkan untuk menyenangkan orang mampu.

Mana yang kita pilih? Berdebat mengenai kenaikan BBM ini di tataran elite biasanya dikaitkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Intinya, jika dibiarkan begini-begini saja, maka APBN akan jebol, negara akan kewalahan mengatur keuangannya. Utang akan tambah besar karena defisit kian menggelembung.

Memang kemudian ada alternatif untuk menyelamatkan APBN. Misalnya, efisiensi di departemen ataupun di Pertamina dan PLN. Bisa juga dengan menekan cost recovery di perminyakan, atau mungkin melakukan lindung nilai (hedging) atas transaksi minyak. Semuanya baik, tapi tetap ada satu hal yang tidak lepas, yakni subsidi ke orang mampu tetap ada.

Kita tidak bisa membiarkan masyarakat makin susah kehidupannya, tetapi juga tidak ikhlas-ikhlas amat kalau negara memberi subsidi ratusan ribu rupiah untuk mereka yang berpenghasilan Rp 15 juta per bulan. Jalan tengahnya adalah, subsidi untuk orang mampu dihapus, atau setidaknya diminimalisasi, dan rakyat miskin tidak makin miskin.

Nelayan tetap perlu disubsidi besar. Begitu juga angkutan umum agar ongkos angkutan tidak naik. Karena biasanya kenaikan ongkos angkutan ini yang menjadi kambing hitam kenaikan berbagai macam harga, termasuk sembako. Atau mungkin seluruh angkutan umum dikonversi ke gas, sehingga pengaturannya menjadi mudah.

Pemberian BLT plus, boleh jadi menjadi setetes air penyegar, asalkan pelaksanaannya bisa seindah sebagaimana yang dikonsep di atas kertas. Data harus akurat dan terkini, sehingga semua orang miskin dan yang hampir miskin bisa mendapat jatah, tidak ada salah pencatatan, tidak ada salah sasaran, dan tanpa dipotong aparat.

BLT plus ibarat ikan, karenanya selain itu rakyat perlu juga diberi kailnya. Kail bisa berupa pinjaman tanpa bunga bagi rakyat kecil yang menjalankan usaha, bisa juga pemberian bibit unggul ke petani miskin, atau pemberian lapangan kerja bagi masyarakat lewat program-program padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja.

Selain itu, pemakaian BBM perlu dibatasi. Kenaikan BBM rata-rata 30 persen itu berarti masih memberikan subsidi pada orang mampu. Untuk itu, jatah subsidi dikurangi dengan pembatasan pembelian BBM bersubsidi. Di sinilah nantinya smart card berfungsi. Smart card merupakan bagian dari program penghematan konsumsi BBM. Kendaraan yang memang masuk kategori mendapat jatah BBM bersubsidi, akan ditempel dengan smart card.

Jadi subsidi masih diberikan pada orang mampu, tapi terbatas, sampai suatu saat nol persen. Indonesia termasuk negara yang boros energi. Dibanding Jepang yang makmur itu, tingkat keborosan kita dua kali lipat. Terbukti dari intensitas (jumlah konsumsi energi per produk domestik bruto-PDB) di Indonesia 400 sedangkan Jepang 200, Thailand 300. Karena itu harus kenaikan ini dijadikan momentum melakukan penghematan energi.

Sepertinya kenaikan BBM tinggal menunggu waktu. Sayangnya, justru karena terlalu lama menunggu itu, situasi menjadi tidak terkendali. Penimbunan BBM mulai terjadi, terbukti dengan peningkatan pembelian BBM sebesar 15 persen sepekan terakhir ini.

Stasiun pompa bensin mulai membatasi pembelian, beberapa malah kehabisan. Di samping itu, harga-harga barang, terutama sembako juga sudah naik. Selain didorong oleh krisis pangan dunia, kenaikan pekan-pekan terakhir ini disebabkan adanya pengumuman bahwa harga BBM akan naik. Kelak jika hari-H kenaikan harga BBM ditentukan, harga-harga akan kembali naik. Jadi terjadi dua kali kenaikan.

Pemerintah harus segera memutuskan, berapa dan kapan kenaikan diberlakukan. Tapi juga harus dipersiapkan infrastruktur yang matang agar rakyat tidak terlalu terbebani. Jika tidak, kebijakan SBY-Kalla ini hanya akan menambah daftar rakyat yang makan nasi aking. Celakanya harga nasi aking pun sudah naik!

Dimuat di Republika 16 Mei 2008

2 comments:

  1. gimana kalo sby-jk disuruh makan nasi aking, biar ngrasain jd orang miskin..

    ReplyDelete
  2. bbm naik susah, nggak naik susah..wis embuhlah

    ReplyDelete