Tuesday, May 27, 2008

The Rise and Fall of the Soehartonomic (2)
Macan Asia, Sebuah Masa Keemasan

Oleh Anif Punto Utomo

Titik kestabilan awal sudah diperoleh pemerintah Orde Baru dalam tiga tahun pemerintahannya, 1966-1969. Berlandaskan kondisi tersebut, kemudian disusun pentahapan pembangunan ekonomi yang dirumuskan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).

Penyusunan Repelita tersebut disesuaikan dengan kondisi yang ada saat itu, dan bergerak kepada kondisi ke depan. Dalam tiga Repelita ke depan, titik pijak bagi pembangunan ekonomi adalah stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Mana dari ketiganya yang menjadi prioritas, disesuaikan dengan kondisi yang ada dan antisipasi ke depan.

Dalam Repelita I (1969-1974) garis kebijakan besarnya adalah stabilisasi-pertumbuhan-pemerataan. Pada Repelita II (1974-1979) menjadi pertumbuhan-pemerataan-stabilisasi. Dan pada Repelita III (1979-1983) kembali bergeser menjadi pemerataan-pertumbuhan-stabilisasi. Pada Repelita berikutnya rangkaian prioritasnya sudah berbeda.

Pada Repelita tersebut sudah digariskan target-target yang realistis. Sekaligus juga merumuskan berbagai prioritas pembangunan dengan sangat jelas. Repelita I memberikan tekanan pada peningkatan produksi pangan dan rehabilitasi prasarana, sedangkan Repelita II dan III memberikan penekanan pada masalah kesempatan kerja, pemerataan, dan pertumbuhan.

Karena ekonomi menjadi panglima, maka saat itu kegiatan politik benar-benar dikebiri. Prinsipnya: pemerintah berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi, politik jangan mengganggu. Soeharto sebagai presiden sekaligus kepala pemerintahan menjadi otoriter. Jika tidak setuju dikucilkan, kalau perlu dipenjara.

Pada saat hampir bersamaan, beberapa negara di Asia juga berkonsentrasi membangun ekonomi dengan pemerintahan otoriter. Di Korea dengan Park Jung Hee, di Singapura ada Lee Kuan Yew, kemudian di Malaysia ada Mahathir Mohammad. Kelak tiga-empat dekade berikutnya ketiga negara tersebut sudah sedemikian makmur, sementara Indonesia masih terus terpuruk.

Kondisi ekonomi pada tiga Repelita tersebut menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Dan itu tidak lepas dari strategi global pemerintah dalam menjalankan roda perekonomian negara. Negara dengan berbasis pertanian tetap dipertahankan, tetapi sekaligus juga mengembangkan sektor industri, karena di sektor inilah nantinya tenaga kerja akan makin banyak terserap.

Secara garis besar, kebijakan ekonomi Orde Baru adalah diawali dengan stabilisasi makro ekonomi. Dari situ kemudian muncul langkah restorasi eksternal seperti penjadwalan utang dan penerapan nilai tukar yang tetap. Selain itu juga dilakukan pembenahan fiskal terutama berkaitan dengan pengereman belanja pemerintah, pengurangan subsidi untuk perusahaan negara, mengurangi kontrol harga dan keseimbangan belanja negara.

Di sisi perbankan, juga dilakukan regulasi sistem perbankan yang lebih terbuka dengan memperbaiki akses kresit, mengijinkan pendirian bank-bank baru, termasuk cabang bank asing. Liberalisasi investasi juga dilakukan dengan memberikan insentif dan jaminan bagi investor asing. Dan terakhir adalah food security dengan program stabilisasi harga sektor pertanian dan juga peningkatan produksi lewat berabgai program pertanian.

Terbukti bahwa dalam kurun hampir dua dekade, kestabilan ekonomi terjaga. Pertumbuhan ekonomi juga terus tinggi dan stabil. Sektor pertanian menunjukkan peningkatan berarti dengan kenaikan jumlah produksi. Industri juga tumbuh sedemnikian cepat sehingga Indonesia masuk dalam jajaran negara berjuluk ‘macan Asia’ bersama Malaysia dan Thailand.

Secara lebih detil, di sektor pertanian, lewat adanya penyebaran pupuk buatan dan penyebaran bibit unggul, terjadi peningkatan produksi. Peningkatan tersebut terus terjadi secara sigifikan, sampai pada puncak puncak keberhasilannya, pada 1982, Indonesia sudah swasembada beras. Penghargaan internasional diperoleh Soeharto atas keberhasilan tersebut.

Dalam industri, kemajuan yang dicapai bisa dilihat dari pergeseran struktur Produk Domestik Bruto (PDB). Meskipun sektor pertanian makin maju, tetapi sumbangan terhadap PDB turun yakni dari 52,4 persen pada 1965 menjadi 34,7 persen pada 1977. Sementara industri dan pertambangan menyumbang 12 persen pada 1965 sudah menjadi 24,1 persen pada 1976. Angka tersebut terus bergerak naik sampai akhir Pelita III.

Keberhasilan pertumbuhan industri tidak lepas dari keleluasaan perbankan dalam menyalurkan kredit. Disamping memang banyak deregulasi investasi yang memberikan kesempatan besar pada swasta untuk melakukan investasi besar-besara, baik investor asing maupun lokal.

Di sisi lain, terjadinya oil booming pada 1973 sangat membantu pemerintah mempercepat akselerasi pembangunan. Dengan kapasitas produksi 1,3 juta barel per hari, sementara pemakaian lokal hanya seperempatnya, maka pemerintah memiliki dana besar untuk modal pembangunan masyarakat sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi.

Pada masa itu, ribuan sekolah kemudian dibangun, fasilitas kesehatan seperti pendirian Puskesmas juga menjamur hampir diseluruh kecamatan. Bersamaan dengan itu, lewat program Keluarga Berencana, pemerintah juga berhasil menekan angka kelahiran bayi. Pada saat itu pula pemerintah membangun industri-industri substitusi impor.

Selama periode tiga Repelita tersebut, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 7,1 persen per tahun. Bersamaan dengan itu, otomatis pendapatan per kapita juga meningkat dari 100 dolar per tahun pada 1967 menjadi 131 dolar per pada 1973, dan menjadi 520 dolar pada 1984. Begitu juga persentase jumlah penduduk miskin yang semula lebih dari 60 persen sudah menjadi sekitar 40 persen.

Keberhasilan lain yang secara nyata dinikmati masyarakat adalah tersedianya infrastruktur berupa jalan, yang jika di Jawa hampir seluruh kecamatan sudah terhubungkan dengan aspal. Penerangan berupa listrik juga sudah banyak didinikmati masyarakat. Belum lagi prasarana sederhana seperti mandi cuci kakus (MCK) di pedesaan.

Masa pemerintahan Soeharto sampai pada Repelita III boleh dikata sebagai masa pemerintahan yang cukup gemilang dari sisi ekonomi. Tidak mudah membalikkan kondisi dari keterpurukan ekonomi yang demikian parah menjadi ekonomi yang stabil dan tumbuh dengan konsisten.

Tidak mudah pula membalikkan posisi dari pengimpor beras terbesar menjadi negara swasembada beras pada 1984. Prestasi swassembada tersebut membuahkan penghargaan dari Food and Agricultural Organization kepada Soeharto selaku Presiden Republik Indonesia. Prestasinya pada 1969 Indonesia hanya mampu memproduksi beras 12,2 juta ton, kemudian pada 1984 sudah mencapai 25,8 juta ton.

Keberhasilan di sisi ekonomi tersebut sebetulnya merupakan gagasan-gagasan ekonomi yang sederhana dan menyentuh kebutuhan rakyat, dalam arti bergerak pada alam pikir yang rasional. Kemudian, mengembangkan jaringan ekonomi yang luas untuk kepentingan yang berkait dengan gagasan-gagasan pembaharuan. Dan yang pasti adalah, orientasi tanpa pamrih demi rakyat kecil.

Itulah yang dilakukan Soeharto sebelum anak-anak dan kroninya bergerak leluasa di bidang bisnis. Begitu anak-anaknya masuk bisnis pada pertengahan 1980-an, dan para kroninya semakin giat memupuk ekonomi rente, pada saat itulah muncul kebijakan-kebijakan yang kelak meruntuhkan pondasi ekonomi yang cukup kokoh tersebut. @
Dimuat di Republika edisi 28 Januari 2008

No comments:

Post a Comment