Tuesday, May 27, 2008

The Rise and Fall of Soehartonomic (3)
Pondasi Rapuh, Ekonomi Runtuh

Oleh Anif Punto Utomo

Soeharto, penguasa republik ini selama lebih dari tiga dekade, harus membungkuk mendantangani kesepakatan dengan IMF dihadapan Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus yang berdiri angkuh sembari bersedekap. Itulah upaya penyelematan ekonomi Indonesia yang jatuh terpuruk akibat krisis keuangan yang menimpa kawasan Asia.

Peristiwa tersebut sekaligus menandakan bahwa ekonomi Orde Baru telah ambruk. Julukan Macan Asia Baru rupanya hanya hirupan sesaat saja, ketika terbukti bahwa pereknomian yang dibangun dengan susah payah sejak Soeharto memegang tampuk kekuasaan itu, seolah tidak ada artinya lagi.

Lihatlah perekonomian yang diwariskan Soeharto: pertumbuhan ekonomi -13,1 persen (dari sebelumnya rata-rata 6-7 persen), inflasi 58,5 persen (6-8 persen), kurs dolar Rp 10.100 (Rp 2.400), suku bunga 70 persen (10-14 persen), rasio utang terhadap PDB 74,1 persen (24,3 persen). Pendaptan per kapita 610 dolar (1.100 dolar) .Tercatat 20 juta orang kehilangan pekerjaan. Ekonomi limbung.

Krisis keuangan itu diawali dari Thailand pada 2 Juli 1997. Bath terupuk 25 persen. Korea kemudian menyusul dengan merosotnya won. Tapi pemerintah saat itu ‘PD’ dengan mengatakan bahwa fundamental ekonomi amsih kuat, krisis tak akan terjadi. Tak lama kemudian perekonomian kita justru terhempas paling keras.

Runtuhnya perekonomian jelas lantaran fundamental ekonomi kita yang keropos, rapuh. Pertumbuhan ekonomi memang terjadi, tetapi hanya dinikmati mereka yang ditataran atas, rakyat hanya kebagian kue yang sangat kecil. Perusahaan besar diberi berbagai kemudahan, sehingga mereka tumbuh meninggalkan masyarakat kebanyakan.

Selama Orde Baru berkuasa, perekonomian dibangun berdasarkan konsep trickle down effect (menetes ke bawah). Artinya, kue ekonomi diberikan dulu kepada perusahaan besar, baru kemudian kekayaan itu menetes ke bawah untuk kalangan masyarakat. Tak heran, begitu banyak kemudahan yang diberikan kepada usaha besar untuk mengembangkan usahanya.

Dalam prakteknya, yang terjadi adalah munculnya pemburu rente (rent seeker). Mereka, menurut definisi Yoshihara Kunio dalam buku “Kapitalisme Semu Asia Tenggara’ adalah para kapitalis yang menjalin hubungan dengan pemerintah demi keuntungan bisnis. Ada juga yang mengistilahkan strategi tersebut dengan kroni kapitalisme (crony capitalism).

Siapa mereka? Tak lain adalah pra konglomerat, para pebisnis besar, para pemimpin politik, anak-anak dan keluarga pejabat. Mereka sibuk mencari rente. Begitu lisensi diperoleh, bisnis akan demikian mudah, demikian lancar, dan merekapun menjadi kian besar. Semakin menggurita.

Pemburu rente tersebut sudah mulai berkibar begitu Orde baru berkuasa pada akhir 1960-an. Tetapi kemudian makin berkembang pada 1980-an. Saat itu, pengusaha seperti Liem Sioe Liong, Sudwikatmono, Prajogo Pangestu, Eka Tjipta, Bob Hasan, Samadikun Hartono, dll makin mencorong setelah sebelumnya memperoleh berbagai lisensi.

Dan yang tak kalah serunya adalah ketika putra-putri Soeharto masuk ke dalam bisnis. Mulai dari Sigit Hadjojudanto, Siti hardiyantio Rukmana (Tutut), Bambang Triatmojo, Siti Hediati (Titik), Hutomo Mandala Putra (Tommy) sampai Siti Hutami Adiningsih (Mamiek). Semua memperoleh konsesi, bahkan sampai cucunya, Ari Sigit.

Tutut saat itu diberi kemudahan membangun jalan tol Cawang-Priok. Saat itu lintasan lajur tol itu belum seramai Cawang-Grogol, tapi Tutut bisa memperoleh pembagian untung yang nyaris sama besarnya. Tutut juga diberi hak untuk mendirikan televisi berbasis pendidikan (TPI yang akhirnya dia belokkan menjadi TV komersial).

Bambang diberi kemudahan memiliki Bank Andromeda meski kemudian ditutup. Tapi tak lama kemudian dia bisa mengakuisisi Bank Alfa. Dia juga memperoleh lisensi penjualan minyak Pertamina. Dia lewat Bimantara juga diberi lisensi siaran TV (yang saat itu masih terbatas) yaitu RCTI yang kemudian jadi TV umum.

Sementara Tommy, adalah tokoh paling kontroversial. Pangeran Cendana tersebut menggegerkan jagad bisnis ketika memperoleh hak pembelian dan penjualan cengkeh lewat BPPC. Setelah itu makin kontroversial lagi ketika dia memperoleh lisensi pengembangan mobil nasional (mobnas). Belum lagi lisensi ekspor impor minyak.

Dalam pandangan Yoshihara Kunio, iklim bisnis yang terjadi di Indonesia saat itu dia sebut ersatz capitalism (kapitalisme semu). Kira-kira artinya, kondisi ekonomi berkedok kapitalisme yang mendewakan persaingan bebas, tetapi sebetulnya tidak ada persaingan karena semua sudah dijatah pemerintah lewat pintu belakang.

Para pemburu rente tersebut pada akhirnya memang menjadi konglomerat yang menguasai perekonomian republik ini. Mereka memiliki kekayaan yang luar biasa besar. Liem Sioe Liong masuk dalam jajaran orang terkaya di Asia. Prajogo Pangestu memiliki hutan seluas negara Swiss, Eka Tjipta memiliki ratusan usha. Begitu pula Sudwikatmono dan Bob Hasan.

Tapi kekayaan kadang bisa seperti air laut, semakin kita teguk bukan haus yang hilang, tapi justru ingin meneguk lagi. Konglomerat itu rupanya juga menjadi makin rakus. Mereka bukannya mengambangkan usahanya untuk menjadi pemain global, tetapi masih terus berkutat pada perburuan rente, kalau perlu sampai akhir hayat.

Perekonomian pada gilirannya ditopang oleh segelintir orang yang menjadi kroni para pejabat negara. Rakyat kecil hanya kebagian sedikit dari kue pembangunan. Petani yang sebelumnya menjadi perhatian Soeharto lewat berbagai program seperti Bimas, KUT, dll, sempoyongan di tengah jalan, karena lemah dipelaksanaan.

Kelemahan juga terjadi karena pilihan kebijakan industri yang kurang tepat. Dari awal kebijakan industri yang dikembangkan adalah substitusi impor, tapi karena terlena oleh kemudahan, mereka tidak mengembangkan riset untuk kemajuan industrinya. Tak ada krativitas, tak ada inovasi. Teknologi semua beli, meskipun yang kadang teknologi usang.

Ini berbeda dengan Korea. Sekalipun mereka juga menerapkan proteksi lewat subsitusi impor, tapi negeri ginseng itu juga sekaligus menegaskan perlunya orientasi ekspor. Dengan begitu, riset berkembang karena pada saatnya nanti mereka harus ekspor. Itulah yang kemudian menjadikan Samsung, LG, Hyundai, dll bisa merambah pasar luar negeri.

Keberpihakan tinggi terhadap konglomerat tersebut membuat bangunan ekonomi rapuh. Sementara usaha kecil dan menengah yang mampu menyerap tenaga kerja lebih besar dari sekumpulan konglomerat itu justru tersepelakan. Program pengembangan jalan ditempat, padahal usaha kecil ini pula yang tak rentan terhadap krisis.

Celakanya, justru konglomerat itu yang menyumbang kebangkrutan. Lihat saja, saat menjelang krisis utang asing mereka 82 miliar dolar. Begitu krisis, pinjaman itu dipaksa ditarik sehingga permintaan dolar tinggi, akibatnya rupiah kian merosot. Konglomerat itu pula yang telah menjadikan negara harus mengeluarkan Rp 600 triliun untuk menyelamatkan bank milik mereka.

Sayang, sebuah permulaan yang baik harus diakhiri dengan ketidakberdayaan. Ekonomi yang sudah dibangun dengan baik pada awal pemerintahan Soeharto, akhirnya harus terpuruk karena kebijakan Soeharto pula. Pondasi yang semula cukup kokoh itu kemudian rapuh. Ketika krisis menerjang, maka ekonomi pun menjadi runtuh.@

Dimuat di Republika edisi 28 Januari 2008

No comments:

Post a Comment