Monday, July 14, 2008

Keyakinan Pengungsi Palestina


Atas undangan Departemen Luar Negeri, wartawan Republika, Anif Punto Utomo, melakukan liputan terkait isu-isu Palestina di Jordan, sebagai bagian dari persiapan acara 'Minister Conference on Capacity Building for Palestine' di Jakarta, 14-15 Juli 2008. Berikut bagian pertama dari dua tulisan mengenai rakyat Palestina yang sudah 60 tahun berada di pengungsian.

A'sleen, sebuah desa kecil di dekat Jerusalem. Sudah dua tiga hari berlangsung perang antara Israel melawan Arab. Peluru berdesing, bom berdentum, granat menyalak, asap mesiu tercium di segala penjuru. Semakin lama intensitas perang semakin tinggi, Israel semakin membabi buta menyerang, merusak fasilitas umum, dan meneror masyarakat.

Suatu ketika, hujan bom mengoyak wilayah kecil itu. Segera saja tangan gadis kecil itu ditarik lari oleh ayahnya. Bersama kedua orang tua dan tiga saudaranya, gadis kecil itu menyelusup di antara desingan peluru dan dentuman bom. Tak sempat membawa bekal. Begitu pula warga lainnya. Mereka tak kuasa menahan kebiadaban Israel.

Keluarga gadis kecil itu bersama puluhan ribu warga dari berbagai wilayah mengungsi ke Jericho. Tapi, kondisi di daerah itu juga tidak jauh berbeda. Keadaan tidak juga aman. Sekolah sebagai tempat mengungsi dibom Israel. Akhirnya, rombongan pengungsi itu lari ke perbatasan Jordan. Berjalan terseok-seok tanpa bekal apa pun di tengah musim yang tidak bersahabat: musim dingin.

Beruntung mereka sampai di Jordan. Karena, tak sedikit keluarga yang kehilangan anggotanya. ''Di situ tidak ada air. Tapi, setidaknya kami diberi tenda serta selimut dan piring enam biji sesuai jumlah keluarga kami,'' kenang Ny Suhaylah, gadis kecil itu, yang kini sudah berusia 54 tahun dengan empat cucu di kamp pengungsian Baqa'a di Jordan. Tenda mereka sempat ambruk karena penyangga tak kuat menahan salju yang membebani atap. Untuk makan, di pengungsian dibuat dapur umum.

Peristiwa tersebut terjadi pada 1967, yakni ketika berlangsung 'Perang Enam Hari' antara Israel melawan gabungan tiga negara Arab, yakni Mesir, Jordania, dan Suriah. Ketiga negara itu juga mendapat bantuan aktif dari Irak, Kuwait, Arab Saudi, dan Aljazair. Perang yang terjadi 5-10 Juni 1967 itu memaksa ratusan ribu orang mengungsi dari wilayah Palestina.

Perang Enam Hari ini merupakan perang ketiga dalam konflik Arab-Israel. Perang pertama terjadi pada 1948 ketika Inggris secara tak bertanggung jawab meninggalkan wilayah Palestina yang dihuni zionis Yahudi dan Arab Palestina. Begitu Inggris pergi, zionis memproklamasikan negara Israel dan sekaligus memicu perang. Zionis menang, Arab Palestina terusir. Ribuan mengungsi. Perang kedua pada 1956 terjadi karena krisis Suez.

Dari ketiga perang itu, perang 1967-lah yang paling sukses bagi Israel. Dalam perang ini, Israel menduduki seluruh wilayah Palestina dengan merebut Tepi Barat dan Jerusalem Timur, menganeksasi Semenanjung SInai dari Mesir, dan Merampas Dataran Tinggi Golan dari Suriah.

Kelak, pada 1973 Semenanjung Sinai kembali ke pangkuan Mesir setelah terjadi perang terbuka antara Mesir dan Suriah melawan Israel. Sedangkan, Dataran Tinggi Golan kini masih dikuasai Israel. Tapi, kabarnya Israel akan melepas Golan ini dengan beberapa konsesi yang salah satunya, Suriah menutup jalur komunikasi dan transportasi Hamas yang selama ini banyak bermukim di Suriah.

Pengungsian besar-besaran memang terjadi ketika perang pertama dan kedua. Gelombang pertama terjadi pada 1948, dengan jumlah pengungsi diperkirakan 726 ribu orang. Gelombang kedua terjadi pada perang 1967, ketika 323 ribu orang Palestina kehilangan rumah-rumah mereka, sepertiganya merupakan pengungsi pada 1948.

Lokasi pengungsian tersebar di negara-negara yang berbatasan dengan Palestina, yakni Jordan, Suriah, dan Lebanon. Ny Suhaylah adalah salah satu dari pengungsi pada 1967 yang masuk di Jordan. Saat ini, pengungsi Palestina dirawat oleh UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugee in the Near East), sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang khusus mengurus pengungsi Palestina.

Dari data terakhir yang diperoleh, jumlah total pengungsi Palestina yang pada 1950 sebanyak 914 ribu, kini setelah beranak pinak mencapai 4,5 juta orang. Pengungsi tersebut tersebar di Jordan sebanyak 1,88 juta, Lebanon (411 ribu), dan Suriah (446 ribu). Sedangkan untuk yang di wilayah Palestina ada di Tepi Barat (735 ribu), dan Jalur Gaza (1,03 juta).

Sepertiga pengungsi tinggal di kamp pengungsian, lainnya hidup berbaur di pedesaan dan perkotaan di negara tuan rumah. ''Pengungsi yang paling sengsara di Gaza, sebagian juga yang di Lebanon,'' kata Peter Ford, petinggi UNWRA sewaktu diwawancarai di Amman, awal Juli silam. Masalahnya, di wilayah itu masih sering terjadi pertempuran.

Kondisi di Gaza sebagaimana buku laporan UNRWA menjadi lebih parah ketika Hamas menang dalam pemilu. Dana untuk operasional otoritas Palestina disetop. Arus listrik dan bahan bakar untuk masyarakat dihentikan. Kehidupan masyarakat, terutama para pengungsi menjadi makin sulit karena diisolasi oleh kekejaman zionis Israel. Tak heran kalau 30 persen staf lokal yang 28,9 ribu dialokasikan ke wilayah konflik ini.

Dalam progam tahunannya, UNRWA memberikan pelayanan kepada pengungsi untuk pendidikan, kesehatan, suplai makanan, dan rehabilitasi sosial. Untuk pendidikan, saat ini sudah didirikan 666 sekolah di seluruh wilayah untuk taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Untuk kesehatan dasar, terutama buat ibu dan anak-anak sudah dibangun klinik sebanyak 128 buah. Pengungsi juga memberikan pinjaman untuk kredit mikro.

Begitu banyak program dan begitu banyak pengungsi tentu membutuhkan dana besar. Berdasarkan anggaran yang diajukan 2008-2009, dana yang dibutuhkan mencapai 1,093 miliar dolar (Rp 10 triliun). Perinciannya, pendidikan 565 juta dolar (500 juta dolar habis untuk staf), kesehatan (211 juta dolar), pelayanan sosial (106,8 juta dolar), pelayanan pendukung (145,3 juta dolar), dan kebutuhan lainnya (63,3 juta dolar).

Sejauh ini, dana diperoleh dari PBB dan donatur. Tapi, dari PBB sangat kecil karena sekitar 99 persen diperoleh dari donatur, baik perseorangan, perusahaan, ataupun negara. Ironisnya, donor dari negara-negara di teluk yang semestinya punya kepedulian besar pada rakyat Palestina justru sangat kecil. ''Hanya empat persen,'' kata Peter.

Sampai kapan jutaan pengungsi tersebut hidup di pengungsian? Kapan bisa kembali ke Tanah Air mereka? ''Saya tidak tahu kapan, tapi saya yakin bisa kembali. Saya akan tinggal di tanah saya yang direbut Israel,'' kata Ny Suhaylah penuh semangat. ''Saya yakin.'' Begitu dia menutup wawancara.

Dimuat di Republika 14 Juli 2008

No comments:

Post a Comment