Tuesday, July 15, 2008

Mereka Berharap tak Jadi Pengungsi Abadi


Atas undangan Departemen Luar Negeri, wartawan Republika, Anif Punto Utomo, melakukan liputan terkait isu-isu Palestina di Jordan, sebagai bagian dari persiapan acara 'Minister Conference on Capacity Building for Palestine' di Jakarta, 14-15 Juli 2008. Berikut bagian terakhir dari dua tulisan mengenai rakyat Palestina yang sudah 60 tahun berada di pengungsian.

''Saya kerja di toko, bikin mebel dari kayu,'' kata Hammam membuka pembicaraan.
''Boleh tahu gajinya?''
''Sekitar 125 dinar per bulan.''
''Cukup?''
''Tidak. Saya harus cari tambahan. Kadang bantu adik angkut-angkut barang, kadang bantu paman jualan di toko,'' tambahnya.


Hammam dengan nama lengkap Hammam Aburasyid adalah generasi ketiga pengungsi Palestina yang tinggal di kamp pengungsian Baqa'a di Jordan. Di usianya yang sudah 32 tahun, dia belum pernah menginjakkan kakinya di tanah kelahiran orang tuanya, Palestina, meski jaraknya hanya dua jam perjalanan darat.

Ketika membaca kamp pengungsi, bayangan kita adalah sebuah lokasi dengan deretan tenda yang di depannya ada seperangkat alat masak seadanya. Tidak. Ini kamp pengungsian yang sudah berusia setengah abad. Jadi, kamp ini sudah seperti kota kecil, rumah dari tembok meski kualitas rendah, jalan-jalan beraspal meski tak rata. Ada pertokoan, terminal, dan pasar.

Strata masyarakat di kamp kebanyakan seperti Hammam. Warga kelas bawah yang pendapatannya sangat mepet bahkan tidak mencukupi untuk hidup layak dengan seorang istri dan dua anak. Kalaupun ada yang punya mobil--kebanyakan Kia Sephia yang di sini dikenal dengan nama Timor-- mereka adalah pemilik toko yang jumlahnya sedikit.

Garis kemiskinan di Jordan adalah 130 dinar Jordan (Rp 1,6 juta) per bulan untuk sebuah keluarga dengan dua anak. Hammam masuk dalam kriteria penduduk miskin. Beruntung dia punya istri yang biasa prihatin, yang kebetulan orang Cirebon! ''Nama saya Pidiasih, tapi orang di sini susah panggil nama itu. Jadi diganti San-san,'' kata Pidiasih yang hatinya kecantol dan langsung menikah dengan Hammam saat kerja di Abu Dhabi.

Keluarga besar Hammam adalah ibu dan empat saudaranya. Rumah ibunya, berdiri seperti huruf U di tanah seluas 100 meter persegi. Di tengah ada halaman tempat bermain anak-anak dan makan bersama. Tradisi masyarakat tradisional Palestina, setiap makan selalu bersama dalam lingkup keluarga besar itu.
Bangunan U itu terdiri atas lima kamar dengan ukuran 3x3 meter, seperti kos-kosan. Setiap kamar dihuni satu anggota keluarga. Adiknya ada yang sudah berkeluarga dengan dua anak, mereka ya tinggal bersama dalam satu kamar. Hammam sendiri karena tidak kebagian kamar, harus mengeluarkan 80 dinar per bulan untuk kontrak rumah dengan dua kamar di kamp pengungsian juga.

Tidak ada data resmi berapa rata-rata penghasilan para pengungsi Palestina. Tapi, secara sekilas terlihat bahwa kondisi secara umum di kamp pengungsian Baqa'a tidak jauh dari taraf hidup Hammam. Tingkat kehidupan, tingkat ekonomi, dan tingkat pendidikan relatif rendah. Hal serupa juga terlihat di kamp pengungsi lain di berbagai wilayah Jordan.

Barangkali yang sedikit berbeda di kawasan pengungsi Al Wihdat. Karena lokasinya berada di pinggir Amman dan kini wilayahnya sudah menyatu dengan Amman, perekonomian di kamp itu lebih hidup. Taraf kehidupan masyarakat pun relatif lebih tinggi, setidaknya dibanding di Baqa'a.

Berdasarkan data United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNWRA), Baqa'a merupakan kamp pengungsian terbesar di Jordan dengan jumlah pengungsi terdaftar 68.386 orang. Lokasi pengungsian lainnya adalah Al Wihdat (50.703), Irbid (24.351), Husn (20,988), Souf (15.882), Jabal el-Hussein (29.998), Zarqa (18.004), Marka (38.425), Talbieh (871), dan Jerash (15.488). Total ada 13 kamp pengungsian yang tersebar di Jordan.

Tapi, tidak semua pengungsi Palestina tinggal di kamp pengungsian. Bahkan, mayoritas justru tinggal di luar. ''Dari jumlah pengungsi di Jordan yang 1,9 juta, hanya 20 persen yang tinggal di kamp. Selebihnya berada di luar berbaur dengan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan,'' kata Wajeeh Azayzeh, direktur jenderal Urusan Palestina, ketika diwawancarai di kantornya di Amman awal Juli silam.

Pemerintah Jordan sendiri sangat welcome terhadap pengungsi Palestina. Ada keterikatan sejarah dan emosional sehingga pengungsi Palestina diterima dengan hangat sebagaimana saudara dan disediakan lahan yang cukup. Ratusan juta dolar juga dialokasikan untuk pengungsi. ''Sebaliknya, rakyat Palestina juga baik dan mudah berbaur dengan masyarakat Jordan,'' kata Wajeeh.

Umumnya, pengungsi yang sudah menapaki kehidupan yang lebih baik pindah dari kamp pengungsian. Meski ada pula yang enggan pindah, karena di kamp mereka memperoleh fasilitas gratis dari UNWRA untuk pendidikan anak sampai setingkat SMP dan perawatan kesehatan. Harga bahan pangan juga murah. Setiap warga di kamp mendapat kartu untuk menikmati fasilitas itu. Kartu dicabut jika dia meninggalkan kamp.

Memang, secara rata-rata kehidupan orang Palestina, khususnya di Jordan --apalagi di kamp-- mayoritas kelas bawah. Tapi, tak sedikit yang sukses. Ada yang jadi dokter, akuntan, ahli teknik, pengacara, dan lain-lain. Pengacara KBRI di Amman adalah keturunan Palestina. Bahkan, kabarnya, dua pengusaha terkaya di Jordan adalah dari Irak (pemilik Le Royale Hotel) dan dari Palestina (pemilik Arab Bank).

Berbicara mengenai pengungsi, maka pengungsi Palestina adalah yang paling fenomenal. Bukan dari cuma jumlahnya, tapi juga rentang waktu penyebarannya. Dari sisi jumlah, saat ini tercatat 4,5 juta orang. Dari rentang waktu --mulai 1948 sampai sekarang-- sudah 60 tahun. Kemudian, penyebaran ada di tiga negara, Jordan, Lebanon, dan Suriah. Belum lagi yang mengungsi secara sendiri-sendiri di Irak, Saudi, dan Mesir.

Dan, apa pun strata ekonomi orang Palestina di negeri orang, sebagian besar mereka merindukan kembali ke tanah leluhur. Entah mereka yang pernah merasakan hidup di Palestina kemudian mengungsi karena serangan Israel, ataupun generasi berikutnya yang belum pernah menginjakkan kaki di Palestina. Kerinduan itu terlihat dalam setiap getaran lidah mereka sewaktu mengucapkan Palestina.

Hanya satu yang mereka butuhkan untuk bisa pulang: perdamaian dan kemerdekaan di Palestina. Perdamaian harus dimulai dengan diakhirinya perseteruan Hamas dan Fatah. Setelah itu kemerdekaan harus diperoleh, entah direbut atau dinegosiasikan. Perdamaian dan kemerdekaan harus segera diwujudkan agar Hammam-Hammam ini tidak menjadi pengungsi abadi.
Dimuat di Republika 15 Juli 2008

No comments:

Post a Comment