Friday, September 5, 2008

Hukuman yang Pantas

Urip Tri Gunawan tertunduk lesu begitu vonis dibacakan hakim. Dia tidak menyangka bahwa hakim akan memberikan vonis yang begitu takuti para koruptor, yakni hukuman maksimal penjara 20 tahun. Urip pun masih dikenai denda Rp 500 juta. Tangisan Urip semasa sidang tak mampu meluluhkan keteguhan hati para hakim Tipikor.

Vonis tersebut melampaui tuntutan jaksa yang menuntut 15 tahun penjara dengan denda Rp 250 juta. Vonis ini sekaligus juga merupakan vonis tertinggi dari hakim yang dijatuhkan kepada koruptor. Selama ini, sebagian besar para koruptor, seberapapun besarnya uang dikorupsi, hanya dibawah 10 tahun.

Keputusan hakim itu merupakan hadiah dari perbuatan Urip sebagai jaksa yang terbukti menerima suap dari Artalyta sebesar 660.000 dollar AS untuk melindungi Sjamsul Nursalim, bos BDNI dari penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang ditangani Kejaksaan Agung. Selain itu, Urip terbukti melakukan pemerasan terhadap Glenn Jusuf.

Tidak ada yang meringankan Urip. Justru banyak hal yang memberatkan seperti keterangan yang berubah-ubah, ketidakjujurannya dalam memberikan pernyataan, tidak kooperatif, dan tidak mengakui bahwa uang yang diterimanya adalah uang suap. Kalaupun ada yang meringankan yang diungkapkan oleh jaksa penuntut adalah bahwa dia pernah jadi abdi negara. Tapi itu sekaligus juga jadi bumerang bagi Urip.

Hukuman ini memang pantas diberikan buat Urip. Sebagai seorang aparat hukum semestinya dia memberikan contoh yang baik bagi masyarakat. Tapi kenyataannya, dia justru menjadikan keaparatanya itu sebagai senjata untuk menodong orang-orang yang bersalah. Mereka ada yang diperas, ada yang ’dibantu’ dengan hadiah uang.

Urip tentu tidak sendirian dalam kasus BLBI ini. Ada banyak jaksa yang masuk dalam tim tersebut. Sulit dipercaya jika tidak ada satu pun dari jaksa-jaksa itu yang tidak terlibat dalam kasus ini. Untuk itu pemeriksaan terhadap 11 jaksa yang masuk dalam tim yang diduga mengetahui, bahkan mungkin ikut menerima ini harus segera diperiksa.

Negara ini menjadi terpuruk salah satunya karena hukum dipermainkan. Tiga pilar penegak hukum, jaksa, hakim, dan polisi, semuanya mempermainkan hukum. Mereka memanfaatkan jabatan untuk mengeruk kekayaan. Hukum yang berlaku adalah uang, siapa bisa membayar dia yang akan lolos dari jerat hukum.

Karenanya, sudah semestinya koruptor diganjar dengan hukuman maksimal, apalagi dia aparat penegak hukum. Jangan ulangi kasus mantan Kapolri Rusdihardjo yang hukumannya justru dikurangi di pengadilan tinggi Tipikor dengan berbagai alasan, yakni dari dua tahun penjara menjadi 1,5 tahun.

Hukuman pada intinya adalah agar membuat jera. Untuk itu, hukuman yang diberikan harus maksimal. Jika hukuman hanya ringan, ujung-ujungnya orang tidak takut melakukan korupsi. Terbukti sudah banyak kasus korupsi yang masuk persidangan pun sekarang ini masih banyak penyelenggara negara yang berani melakukan korupsi.

Hukuman bagi Urip ini meskipun sebagian masih berpendapat terlalu ringan, tapi cukup menjadi contoh bagi hakim lain agar memberikan vonis maksimal kepada koruptor. Negeri ini harus dibangun dengan penegakan hukum. Siapapun yang melanggar, pantas dihukum berat, apalagi pelanggar hukum itu adalah aparat hukum itu sendiri.@

Dimuat di tajuk Republika edisi 4 September 2008

No comments:

Post a Comment