Friday, September 19, 2008

Mewaspadai Krisis Global

Berita mengenai kebangkrutan bank investasi Lehman Brothers mengingatkan kita bahwa setangguh apapun perusahaan keuangan jika terlalu rakus akan meluncur ke tepi jurang. Bukan jaminan pula bahwa profesional kelas satu yang ada di perusahaan keuangan bisa mengelola perusahaan dengan baik.

Kebangkrutan Lehman adalah ekses dari krisis pembiayaan perumahan (subprime mortgage) di Amerika Serikat pada Juli 2007 lalu. Kini Lehman sedang mengajukan perlindungan Chapter II. Tujuannya agar Lehman dibebaskan dari gugatan hukum para kreditor dengan tidak membayar tagihan.

Bisa dikatakan inilah krisis terbesar sepanjang sejarah keuangan Amerika sejak depresi besar pada 1930. Saat itu meski depresi begitu besar, Lehman yang berdiri pada 1850 itu masih tetap berdiri tegar. Begitu juga ketika terjadi krisis yang lebih kecil pada 1988 silam.

Lehman tidak sendirian. Dalam krisis subprime ini, perusahaan raksasa keuangan lebih dulu bertumbangan, dengan akumulasi kerugian lebih dari satu triliun dolar. Beberapa di antaranya Citigroup merugi 24,1 miliar, Merril Lynch tekor 22,5 miliar dolar, begitu juga Freddie Mac dan Fannie Mae yang rugi miliaran dolar.

Perusahaan raksasa itu bahkan tidak mampu menutup kerugiannya, sehinga mereka harus diselamatkan pemerintah Amerika. Freddie Mac dan Fannie Mae misalnya, perusahaan pemberi kredit perumahan terbesar itu harus diambil alih oleh pemerintah. Merrill Lynch, diselamatkan oleh Bank of America. Sementara Citigroup disuntik investor Timur Tengah.

Beda halnya dengan Lehman, perusahaan ini tampaknya dibiarkan terkapar oleh pemerintah Amerika. Entah apa alasan utamanya, tapi yang jelas mereka memberi sinyal peringatan kepada perusahaan finansial bahwa siapapun pengelolanya harus hati-hati dalam menjalankan bisnis, dan pemeritah tak akan begitu saja menyelematkannya.

Amerika merupakan negara dengan bisnis jasa keuangan terbesar di dunia. Jadi jika negeri itu pilek, seluruh dunia akan meriang. Bagaimana jika Amerika sudah hampir masuk ICU seperti sekarang ini, tentu saja negara-negara yang masuk dalam jaringan arus kapital global akan menuju krisis yang sama pula.

Terbukti bahwa dalam beberapa pekan terakhir ini bursa dunia anjlok, bursa Shanghai turun 60 persen, begitu juga Bursa Efek Indonesia (BEI) yang terus mencatat rekor kejatuhan indeks. Terakhir berada pada posisi 1.700-an, atau setara dengan posisi pada awal 2007. Ratusan miliar rupiah dana investor pun melayang.

Pasar keuangan pun ikut tergoncang. Ketika broker-broker keuangan, termasuk di Eropa mengalami kerugian, mereka pun menarik dananya dari Indonesia. Akibatnya dalam beberapa pekan saja, triliunan rupiah terbang kembali meninggalkan Indonesia. Para investor itu melepas portofolio, ujung-ujungnya nilai rupiah juga merosot.

Tapi bukan bursa saja yang terancam krisis. Kita tahu bahwa ekspor non-migas Indonesia ke Amerika Serikat termasuk salah satu yang terbesar. Dengan kondisi Amerika yang sedang krisis, permintaan ekspor akan menurun. Belum lagi imbas krisis ini yang menurunkan harga minyak dan CPO yang jadi andalan ekspor kita.

Kita perlu mengantisipasi kondisi krisis global ini, meskipun barangkali dampaknya tidak akan sebesar krisis ekonomi 1997 lalu. Pemerintah dan Bank Indonesia perlu kerjasama secara lebih intensif, termasuk dengan otoritas keuangan di negara lain untuk menghindari dampak yang lebih besar.

Dimuat di tajuk Republika edisi 19 September 2008

No comments:

Post a Comment