Tuesday, November 4, 2008

Jangan Panik

Krisis ekonomi global terus berimbas ke perekonomian kita. Dalam beberapa pekan terakhir ini, indeks saham terus berguguran, meskipun pada penutupan kemarin sempat terbangun sedikit. Dan, yang mengkhawatirkan adalah terjerembabnya rupiah ke posisi yang tak terbayangkan, sempat menyentuh Rp 12 ribu per dolar AS.

Krisis saat ini memang berbeda dengan krisis 1998 silam. Krisis kali ini ibarat kita berada di buntutnya sehingga tetap saja terkena, tapi tidak separah sebelumnya. Dekade silam, kita berada pada pusaran krisis regional bersama negara-negara di Asia Tenggara dan Korea. Lagi pula, saat itu, bukan hanya krisis ekonomi, tapi juga sosial dan politik.

Sebaliknya, kalau dalam krisis lalu ada bantuan dari luar, kali ini tidak. Mengapa? Karena, negara-negara yang selama ini jadi kasir justru berada pada pusaran krisis. Amerika dan negara-negara Eropa yang biasanya menjadi penyelamat--sekaligus juga pengisap--kini juga sibuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Kemandirian kita sebagai negara berdaulat diuji dalam krisis global saat ini. Apalagi, kita juga sudah trauma dengan Dana Moneter Internasional (IMF) yang telah memberikan resep salah sehingga krisis 1998 menjadi berkepanjangan. Kita harus mampu menyelesaikan krisis ini tanpa bantuan dari negara lain.

Sejauh ini, dalam batas tertentu, kita sudah bisa menghadapi krisis global dengan relatif baik. Meskipun tetap saja tidak bisa menghindari seratus persen, terbukti beberapa perusahaan sudah melakukan pemutusan hubungan kerja karena order ekspor perusahaannya terpangkas lantaran pemesanan dari Amerika distop.

Begitu pula di pasar keuangan. Bursa, meskipun anjlok lebih dari separuh, hanya beberapa korporasi yang terkena dampak serius. Masyarakat umum tak terpengaruh. Tapi, yang merepotkan adalah rupiah. Kejatuhan itu telihat sepekan terakhir ketika rupiah mulai menembus Rp 10 ribu per dolar, kemudian Rp 11 ribu, bahkan nyaris menyentuh Rp 12 ribu.

Merosotnya rupiah terjadi karena institusi keuangan di Amerika dan Eropa ramai-ramai menjual portofolio. Mereka menarik semua dana jangka pendek (hot money) yang ditanam di saham dan surat utang negara untuk menyelamatkan perusahaan mereka yang mengalami kerugian besar.

Sebelum krisis, ada 4,5 miliar dolar AS dibelanjakan di pasar saham dan 9,1 miliar dolar AS di surat utang negara. Begitu portofolio dilepas dan uang rupiahnya itu dibelikan ke dolar, terjadilah kelangkaan dolar sehingga dolar menguat. Itu juga terjadi di banyak negara, seperti Jepang, Singapura, Malaysia, bahkan won Korea terdepresiasi 32 persen.

Berikutnya, ketika harga dolar naik, masyarakat panik. Mereka yang membutuhkan dolar untuk impor langsung membeli dalam jumlah yang lebih besar dari biasanya, khawatir nanti dolar akan makin tinggi. Masyarakat awam juga ikut memborong dolar. Dalam situasi seperti ini, para spekulan juga leluasa memainkan rupiah untuk mengambil untung.

Jika kepanikan terus dipelihara, rupiah akan makin terpuruk. Dan, jika itu terjadi, kita benar-benar akan menghadapi krisis yang luar biasa berat. Karena itulah, kami perlu mengimbau masyarakat agar tidak panik. Jika membutuhkan dolar, belilah secukupnya. Jika tidak butuh, simpan saja di rupiah.

Krisis kali ini adalah kiriman dari luar. Janganlah kita memperparah krisis ini dengan kesalahan sendiri. Pemerintah perlu terus membuat kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan buruk yang potensial terjadi. Masyarakat juga perlu menjaga diri untuk tidak memperkeruh situasi ini dengan kepanikan dan spekulasi.

Dimuat di tajuk Republika edisi 31 Oktober 2008

No comments:

Post a Comment