Monday, November 24, 2008

Mari Menyalahkan Amerika

Krisis global sudah membikin derita ratusan juta manusia di bumi ini. Siapa yang pantas disalahkan? Ada yang mengatakan kita tidak perlu saling menyalahkan. Mari kita hadapi bersama kesulitan ini. Tapi, itu tidak adil karena ada pihak yang secara jujur harus dikatakan sebagai penyebab menderitanya masyarakat seluruh dunia, yakni Amerika!

Kita tahu bahwa krisis ini berawal dari pemberian kredit perumahan di Amerika kepada konsumen yang kurang layak diberi pinjaman. Karena itu disebut subprime mortgage untuk mereka yang layak disebut prime mortgage. Tak kurang dari 1,2 triliun dolar AS digelontorklan untuk kredit tak layak ini, kemudian ketika suku bunga naik, pengembalian seret, hasilnya 600 miliar dolar macet.

Efek dari macetnya kredit tersebut berimbas ke institusi keuangan lain karena kredit tersebut disekuritisasi melalui penciptaan derivatif yang disebut CDO (collateralized debt obligation), semacam surat utang. Penjualan itu dilakukan secara berantai sehingga ketika ujungnya sakit, maka semua rentetannya akan merasakan dampaknya.

Apa yang terjadi berikutnya adalah kebangkrutan beberapa bank investasi dan lembaga keuangan lainnya. Di Amerika, Lehman Brother mendadak bangkrut. AIG, asuransi terbesar di belahan bumi ini, harus diselamatkan pemerintah. Freddie Mac dan Fannie Mae, kreditor terbesar juga diselamatkan pemerintah. Tak kurang Pemerintah Amerika mengucurkan 700 miliar dolar untuk menyelamatkan perekonomian mereka.

Krisis di Amerika itu dengan cepat merambat ke berbagai belahan dunia. Eropa terkena dampak terparah dari krisis ini. Beberapa bank nyaris kolaps sehingga harus diselamatkan. Di Inggris pemerintah menganggarkan rescue plan664 miliar dolar termasuk mengeluarkan 55 miliar dolar AS untuk menyelamatkan tiga bank. Jerman mengucurkan 664 miliar dolar AS, 68 miliar dolar di antaranya untuk bailout pinjaman real estate. Belanda terpaksa menyelamatkan Fortis.

Kenyataannya tak hanya sektor keuangan yang tumbang karena pada fase berikutnya sektor riil pun terkena imbasnya. General Motor di Amerika terancam bangkrut jika pemerintah tidak memberi suntikan dana. Opel di Jerman juga perlu mendapat jaminan dari pemerintah untuk mampu membayar utang-utangnya. Masih banyak yang lain sehingga bailout yang dilakukan separuhnya digeser ke sektor riil, bukan cuma sektor finansial.

Asia mau tak mau juga terkena dampaknya. Jepang dan Korea yang banyak terkait dengan Amerika dan Eropa dalam urusan ekspor, terseret cukup dalam di pusaran krisis global ini. Hong Kong dan Singapura juga terpuruk sehingga pertumbuhan ekonomi mereka akan terpangkas. Cina meski terkena juga, tapi relatif masih perkasa. Indonesia sendiri meski ekonomi tetap tumbuh cukup dipusingkan dengan krisis ini.

Ketika perusahaan bertumbangan, otomatis PHK-pun terjadi di mana-mana. Bangkrutnya beberapa perusahaan di Amerika, baik institusi keuangan maupun industri lain termasuk otomotif, memaksa 1,2 juta orang di-PHK. Di Jerman ratusan ribu orang dipecat, Siemens saja sejauh ini telah memecat 17 ribu karyawan. Di Singapura pun sudah mulai terjadi gelombang pemecatan.

Tak terkecuali Indonesia. Perusahaan baja sudah siap merumahkan ribuan karyawan. Perusahaan sepatu dan tekstil yang banyak mengandalkan pasar Amerika dan Eropa sudah mulai memangkas karyawan dan jumlah pemangkasan akan bertambah lagi karena permintaan merosot. Belum lagi hasil pertanian seperti kelapa sawit dan juga kerajinan rakyat. Puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu pegawai terancam PHK.

Krisis global ini semakin tampak nantinya pada pertumbuhan ekonomi. Amerika dan Eropa yang paling terpukul dengan krisis ini dan akan mengalami pertumbuhan rendah, bahkan sebagian negatif pada 2009. Eropa rata-rata akan tumbuh negatif 0,5 persen, Amerika lebih parah sekitar 0,9 persen. Jepang juga negatif 0,1 persen.

Memang beberapa negara Asia meski terimbas masih mampu mencatat pertumbuhan lumayan. Cina meski turun masih di kisaran sembilan persen. Indonesia dengan segala keterbatasannya masih tumbuh enam persen, pertumbuhan tertinggi di wilayah Asia Tenggara. India juga masih tumbuh relatif baik. Sementara Singapura dan Malaysia yang banyak mengandalkan ekspor dan memiliki keterkaitan jasa keuangan yang tinggi ke Amerika akan mengalami pertumbuhan rendah.

Karena itu pula Cina, India, Indonesia, dan kemudian ditambah Brasil menjadi diperhitungkan dalam kancah perekonomian dunia. Skala ekonomi di empat negara tersebut cukup besar dan masih tumbuh dengan baik. Dengan begitu negara yang masuk emerging market ini akan menjadi penopang bagi pertumbuhan ekonomi dunia setelah Amerika, Eropa, dan Jepang terperosok ke dalam depresi ekonomi. Pergeseran peta kekuatan tersebut muncul dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Washington.

Di sisi lain, negara kecil seperti Islandia, Pakistan, dan beberapa negara di Afrika misalnya, makin megap-megap dengan krisis ini. Tak pelak mereka pun harus menadahkan tangan ke IMF untuk mengucurkan dana penyelamatan. Tentu IMF dengan senang hati karena dalam dua tahun terakhir ini banyak negara peminjam yang mengembalikan sebelum jatuh tempo, termasuk Indonesia.

Krisis ini memang memberikan pelajaran sangat berharga bagi dunia, tentu khususnya bagi Amerika. Negara adikuasa yang selama ini menjadi polisi dunia seenaknya sendiri dalam mengatur dunia, termasuk dalam mengatur perekonomian dunia. Mereka merusak tatanan ekonomi negara berkembang lewat tangan-tangan mereka, baik di Bank Dunia maupun di Dana Moneter Internasional (IMF).

Amerika merupakan embahnya yang menurut istilah John Perkin - adalah para bandit ekonomi (economic hitman). Mereka memorakporandakan ekonomi negara berkembang dengan memberikan pinjaman agar negara tersebut memiliki ketergantungan terhadap lembaga internasional yang sudah dikuasai Amerika. Nantinya Amerika yang akan menuntut berbagai perlakuan khusus sebagai bayaran atas pinjaman tersebut.

Amerika juga yang menjadi pengkhianat Bretton Wood di mana saat itu salah satu kesepakatannya adalah mengaitkan mata uang dolar dengan persediaan emas dengan harga konversi 33 dolar per ons. Jadi jika mereka akan menerbitkan dolar, maka harus tersedia juga emas setara dengan nilai dolar yang diterbitkan. Karena tak mampu menjaga kurs, Presiden Nixon pada 1971 langsung membatalkan kesepakatan Bretton tersebut.

Pencabutan itu kemudian menjadikan Amerika bisa mencetak dolar tanpa batas. Komoditas ekspor terbesar Amerika saat ini adalah kertas yang bernama dolar. Mereka tidak peduli dengan dobel defisit (anggaran belanja dan neraca perdagangan), karena mereka bisa menutup defisit itu dengan mencetak dolar.

Hukum alam berjalan dengan sempurna. Kini Amerika sedang menerima hukuman atas ulahnya sendiri. Inilah krisis terbesar di Amerika setelah Great Depression pada 1929 silam. Bedanya, kali ini krisis ini merembet ke seluruh dunia sehingga ratusan juta orang harus hidup sengsara. Jadi tak salah memang kalau semua telunjuk mengarahkan ke Amerika sebagai biang keterpurukan kolektif seluruh negara di bumi ini.

Dimuat di opini Republika edisi 24 Nopember 2008

No comments:

Post a Comment