Monday, December 1, 2008

Entrepreneurship di Sekolah

Ada sebuah cerita tentang perbandingan profesi di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, jika bertemu teman lama salah satu pertanyaan yang muncul adalah, ''Kerja dimana?'' Lain dengan di Singapura. Untuk situasi yang sama pertanyaan yang diajukan adalah, "Perusahaannya apa?''

Apa artinya? Di Indonesia, orientasi masyarakat masih pada tataran bekerja pada perusahaan, kalau bisa perusahaan besar. Sementara di Singapura, orientasinya sudah mulai bergeser pada entrepreneursip atau kewirausahaan. Mereka bangga jika sudah memiliki perusahaan, meskipun perusahaan itu dalam skala kecil maupun medium.

Indonesia, sebagai negara besar dengan penduduk 230 juta, sudah saatnya mengubah orientasi tentang pekerjaan. Jika orientasinya hanya mencari pekerjaan jelas lapangan kerja yang tersedia tidaklah cukup. Akhirnya, pengangguran pun tak terelakkan. Jadi, pekerjaan harus diciptakan.

Menjadi tenaga kerja di luar negeri juga bukan penyelesaian yang ideal. Apalagi jika yang dikirim tenaga unskill, sehingga tak jarang terdengar berita mengenai penganiayaan, penghinaan, pemerkosaan, dll. Belum lagi harus berpisah dengan keluarga. TKI ini hanya bagus untuk penyelesaian jangka pendek.

Untuk menciptakan lapangan kerja, inilah yang dibutuhkan: entrepreneurship. Semangat untuk memiliki usaha sendiri harus diciptakan sejak dini. Bahwa tidak semua orang nanti bisa menjadi entrepreneur yang sukses, itu betul. Tapi setidaknya semakin banyak orang menjadi wirausahawan, semakin banyak peluang kerja yang tercipta.

Kewirausahaan menjadi lebih merasuk pada diri seseorang jika sudah tertanam sejak dini. Kalau kita lihat turunan Tionghoa yang sukses, itu karena sejak kecil lingkungannya sudah mengajarkan untuk berdagang, berwirausaha. Meskipun hanya sekadar membantu orangtuanya, tapi atmosfer ke-entrepreneur-an sudah mulai terasakan.

Ciputra misalnya, lahir di keluarga miskin. Orangtuanya membuka toko kelontong kecil. Tapi karena ayahnya kemudian ditangkap Jepang dan kemudian meninggal, ibunya pilih berjualan kue untuk menghidupi keluarganya. Kebiasaan berdagang tersebut merasuk kedalam setiap tindak-tanduk Ciputra, sehingga sekarang menjadi pengusaha sukses.

Lingkungan keluarga memang penting, tapi tidak semua orang keluarga pedagang. Karena itu harus ada pendidikan mengenai kewirasuahaan. Dan sekolah menjadi tempat penting untuk memberikan bekal kewirausahaan pada murid-muridnya. Beri mereka lingkungan berwirausahaan untuk menumbuhkan keberanian berusaha kelak jika sudah besar.

Sebuah sekolah swasta di Jakarta, salah satu mata pelajaran adalah entrepreneurship. Apa yang dilakukan? Teoritis tentu diberikan. Tapi yang tak kalah penting adalah praktek untuk menjadi pengusaha. Mereka diminta untuk memproduksi sesuatu yang bisa dijual pada teman-teman sendiri, atau tidak memproduksi sendiri tapi berdagang.

Ada pula yang lebih serius lagi. Beberapa anak terhimpun dalam sebuah kelompok, kemudian mereka mengajukan proposal ke salah satu orangtua. Proposal tersebut mengenai pengembangan agroindustri dalam skala kecil, yang nanti bisa dipanen enam bulan ke depan. Pinjaman itu mereka kembalikan setelah panen.

Sebetulnya koperasi di sekolah jika dioptimalkan bisa memberikan aura entrepreneurhip kepada murid. Kalau selama ini koperasi sebagian besar hanya dijalankan oleh guru, sudah saatnya melibatkan murid secara lebih mendalam. Koperasi ini bisa menjadi latihan bagi calon-calon wirausahawan. Bisa koperasi di SD, SMP, maupun SMA.

Mengutip pendapat Ciputra, seorang sosiolog David McClelland berpendapat suatu negara bisa menjadi makmur bila ada entrepreneur sedikitnya 2,0 persen dari jumlah penduduk. Singapura aat ini sudah 7,2 persen padahal pada 2001 baru 2,1 persen. Sedangkan Indonesia hanya 0,18 persen dari penduduk atau 400.000-an orang.

Saatnya Indonesia bangkit menjadi negara yang kuat secara ekonomi. Untuk itu dibutuhkan jutaan entrepreneur yang siap menantang jaman. Di sinilah sekolah bisa ikut berperan dengan memberikan lingkungan kewirausahaan di kalangan murid-muridnya. Mulailah menancapkan entrepreneurship sejak dini, sekecil apapun usahanya.

Lontar Nopember 2008

No comments:

Post a Comment