Wednesday, December 24, 2008

Menyikapi RUU BHP

Pengesahan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) mendapat reaksi beragam. Mahasiswa menolak keras pengesahan tersebut. Beberapa praktisi dan pengamat pendidikan menyatakan keberatan. Sebagian lainnya mengkritisi dengan jeli.

Pada dasarnya, baik reaksi keras mahasiswa, keberatan dari berbagai kalangan, maupun kritik-kritik yang masuk pada ujung-ujungnya adalah apakah perguruan tinggi bisa menampung orang miskin untuk kuliah. Selama ini, ada kecenderungan kuliah menjadi sangat mahal, termasuk di perguruan tinggi negeri, sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan anak orang miskin, meski pandai, tidak bisa kuliah.

Kalau kita coba cermati, RUU BHP ini memberikan peluang lebih besar kepada perguruan tinggi untuk berkembang, tetapi juga tidak terlalu mengeksploitasi mahasiswa lewat berbagai pungutan. Sebuah hal yang dalam beberapa tahun terakhir ini justru banyak diterapkan perguruan tinggi negeri sehingga memberatkan mahasiswa.

Secara substansial, ada beberapa hal positif dari RUU ini. Misalnya, untuk perguruan tinggi negeri, biaya investasi, uang pangkal, uang gedung, dan uang bangku masuk kuliah dihapuskan. Yang terjadi selama ini, beberapa perguruan tinggi menerapkan uang masuk yang bisa mencapai puluhan juta, bahkan ada yang lebih dari seratus juta rupiah untuk fakultas tertentu.

Kemudian, jalur khusus masuk perguruan tinggi juga dihapuskan. Selama ini, hampir seluruh perguruan tinggi negeri menerapkan jalur khusus untuk memompa pendapatan mereka. Adanya jalur khusus ini berarti mendegradasi kualitas dari mahasiswa itu sendiri. Karena, mereka yang sebetulnya tidak masuk kualifikasi bisa diterima lantaran lewat jalur khusus dengan uang muka sangat besar.

Terkait dengan orang miskin, setiap perguruan tinggi wajib mencari dan menjaring 20 persen mahasiswa dari orang miskin. Pemerintah dan BHP juga berkewajiban menyediakan beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit pendidikan mahasiswa, dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Jadi, kelak anak kuli, anak tukang becak, anak pedagang asongan, dan lain-lain tetap berpeluang untuk bisa kuliah. Suatu hal yang dalam satu dekade terakhir ini cukup langka terjadi.

Selain itu, dalam pembayaran uang kuliah, negara hanya mewajibkan mahasiswa menanggung sepertiga dari seluruh biaya operasional. Biaya operasional itu meliputi listrik, air, alat tulis, alat kantor, dan kebutuhan lain yang tidak begitu besar biayanya. Sedangkan, biaya yang besar, seperti pembangunan gedung dan gaji dosen, ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.

Semangat yang terkandung dalam isi setiap pasal ini sebetulnya cukup melegakan. Bahwa, ada kritikan dan kekhawatiran itu muncul karena pengalaman selama ini, entah itu undang-undang atau berbagai bentuk peraturan lain. Isinya bagus, tapi lemah diimplementasi. Kekhawatiran itu kemudian menjadi kecurigaan, jangan-jangan justru dunia pendidikan ini mau lebih dikomersialkan.

Apa yang harus kita lakukan dengan disahkannya RUU tersebut adalah mengawal agar jika sudah diundang-undangkan, apa yang terkandung dalam setiap pasal itu bukan hanya sebagai angin surga. Harus kita kawal agar semuanya bisa terlaksana dengan baik di lapangan. Jangan sampai undang-undang itu dipermainkan sehingga yang rugi adalah mahasiswa dan rakyat.

Kita kawal agar anak miskin yang cerdas tetap bisa kuliah, agar mahasiswa yang pas-pasan bisa memperoleh kredit mahasiswa, agar perguruan tinggi asing tidak menguasai pasar lokal, agar perguruan tinggi tidak semena-mena menetapkan uang kuliah, agar tidak ada lagi uang gedung ataupun uang pangkal. Jika dalam pelaksanaan banyak penyimpangan, sanksi tegas harus diterapkan.
Dimuat di tajuk Republika edisi 19 Desember 2008

No comments:

Post a Comment