Monday, December 1, 2008

Profesi Pilihan

Marjono, sebut saja begitu. Hari itu, ketika mengambil uang di bank, dia kaget, ada transfer masuk sebesar Rp 5,8 juta. Kaget seneng tentu saja. Di tengah keterkejutannya itu dia bertanya-tanya, uang itu dari mana? Apa dapat hadiah dari menabung di bank tersebut? Atau ada salah transfer dari orang lain?

Rupanya Marjono tidak sendirian. Usut punya usut, ternyata uang itu adalah rapelan dari tunjangan profesi sebagai guru. Marjono merupakan salah satu dari sekian guru yang telah lolos uji profesi sehingga berhak memperoleh tunjangan profesi. Besaran tunjangan profesi adalah sebesar gaji pokok.

Tunjangan profesi diberikan pemerintah untuk lebih menghargai guru, karena selama ini kesejahteraan guru relatif rendah sementara tuntutan dari masyarakat begitu tinggi. Tentu tidak serta merta memperolehnya. Guru tersebut harus lolos sertifikasi yang persyaratan cukup berat, termasuk uji kompetensi.

Dengan adanya tunjuangan profesi, mau tidak mau guru dituntut untuk lebih bekerja keras dan profesional dalam mengajarkan mata pelajaran pada anak. Tidak bisa lagi setengah-setengah. Itu sebuah konsekuensi dari kenaikan pendapatan yahng diperoleh seorang guru.

Apalagi di antara sekian banyak pegawai negeri, guru menjadi prioritas dalam tambahan penghasilan. Gaji seorang guru hampir pasti lebih tinggi disbanding PNS lain yang setara. Jika saja dia punya gaji pokok Rp 1,9 juta misalnya, berarti tiap bulan menerima gaji plus berbagai tunjangan sekitar Rp 4,2 juta. Gaji yang menggiurkan untuk ukuran Temanggung.

Belum lagi kalau pemerintah daerah atau provinsi memberikan tunjangan khusus bagi guru. Seperti di DKI Jakarta misalnya, setiap guru negeri memperoleh tunjangan dari provinsi sebear Rp 2,5 juta per bulan. Jadi seorang guru di Jakarta yang sudah lolos sertifikasi bisa mengantongi Rp 6,7 juta per bulan.

Sebuah ironi terjadi dalam sebuah diskusi antarguru di internet. Di situ ada seorang guru yang mencoba menawar, ‘’bisa nggak dapat tunjangan profesi tapi tidak harus mengajar 24 jam per minggu, bagaimana mengakalinya?’’ Karena seperti kita tahu, mereka yang memperoleh tunjangan profesi harus mengajar minimal 24 jam.

Mengajar 24 jam berat, mungkin betul. Tapi jika ingin memperoleh pendapatan besar, konsekeunsinya harus bekerja keras, bukan malah mengakalinya. Jika itu yang terjadi, cukup memalukan. Orang seperti itu rasanya tidak pantas jadi guru yang semestinya bisa digugu dan ditiru. Guru seperti itu, istilah sekarang ,’’ke laut aja..’’

Kini yang perlu dipikirkan adalah pendapatan guru swasta dan guru tidak tetap. Sampai sekarang di Temanggung, mereka-mereka ini masih ada yang berpendapatan dua ratus atau tiga ratus ribu per bulan.. Ini harus diperjuangkan. Pemda perlu mengalokasikan dana khusus sebelum dari pusat memberikan kesejahteraan standar buat mereka.

Guru negeri sudah punya dunia sendiri dalam karir dan pendapatan. Tinggal masing-masing guru mau maju atau tidak. Kalaupun tersandung-sandung dalam memperoleh sertifikasi, itu bisa saja terjadi. Tapi toh apapun tetap ada harapan untuk bisa memperolehnya, harapan itu pula yang akan memberi semangat.

Dulu perguruan tinggi guru seperti IKIP (sekarang sudah berganti jadi universitas) menjadi perguruan tinggi pilihan terakhir. Apa artinya? Sebagian besar guru yang berasal dari perguruan tinggi tersebut, sebetulnya menjadikan profesi guru sebagai pilihan terakhir.

Tapi kini lain. Paradigma bahwa guru sebagai pilihan terakhir dalam berprofesi akan mulai memudar. Kelak guru akan menjadi profesi yang dicari, sehingga proses seleksi menjadi guru pun akan lebih berat dibanding sebelumnya. Jika guru-guru yang ada sekarang ini tidak meningkatkan kualitasnya, maka dalam satu-dua dekade ke depan, akan terpinggirkan oleh mereka yang mencintai profesi dan progresif.

Kini, bagi guru negeri, bukan saatnya lagi untuk mengeluh. Tapi justru menjadi saat untuk membuktikan diri bahwa dirinya mampu menjadi guru yang baik yang bukan hanya mampu mengajar dengan baik tapi juga menjadi panutan bagi murid-muridnya. Tentu juga menjadi panutan bagi guru-guru swasta dan tidak tetap yang belum beruntung.

Lontar Desember 2008

No comments:

Post a Comment