Monday, December 1, 2008

Experiential Learning

Orang bijak berkata: pengalaman adalah guru yang paling yang paling baik. Tampaknya petuah itu tidak bisa dibantah. Manusia yang teruji adalah mereka yang telah mengalami dan melewati beragam pengalaman.

Petuah itu pula yang mengilhami beberapa pakar untuk mengaplikasikan sesuai dengan kompetensinya. Maka di bidang pemasaran muncullah apa yang dinamakan experiential marketing, yaitu suatu konsep pemasaran yang pada intinya memberi pengalaman unik kepada pelanggan agar dia terus meningat terhadap produk yang ditawarkan.

Contoh experiential marketing ini kalau kita ke mal Ambarukmo di Yogyakarta kemudian singgah ke toko roti BreadTalk. Di situ mereka bukan sekedar jualan, tapi juga memperlihatkan bagaimana cara membuatnya. Dapur mereka transparan sehingga setiap orang bisa melihat teknik pembuatannya. Kita sebagai pembeli menjadi seperti diberi pengalaman dalam membuat roti.

Dan rupanya bukan cuma orang-orang pemasaran yang mengambil filosofi pengalaman sebagai guru terbaik, dunia pendidikan pun mulai meliriknya. Dalam dekade belakangan ini mulai muncul istilah yang dinamakan experiential learning (belajar dengan mengalami). Pelatihan-pelatihan juga banyak menggunakan konsep pengalaman ini.

Sebetulnya experiential learning ini sudah dilakukan sejak dulu di sekolah, yakni pelajaran praktek. Dalam setiap perlajaran fisika, kimia, atau biologi misalnya, selalu diberikan pelajaran praktek. Di Fisika diajari membuat radio, di pelajaran kimia dipraktekkan membuat zat-zat kimia, dan di biologi terkadang dengan membelah hewan.

Barangkali kalau dikategorikan, pelajaran praktek ini merupakan experiential learning kategori terbawah. Kalau kategori menengah adalah mengadakan kunjungan langsung ke perusahaan-perusahaan atau sejenisnya. Sedangkan kategori teratas adalah kerja magang yang sekarang mulai banyak dilakukan di berbagai tempat.

Untuk kategori menengah ini sebetulnya sangat diperlukan tapi masih jarang dilakukan. Beberapa sekolah swasta yang cukup baik di Jakarta mulai banyak memberikan experiential learning di kelas ini. Terkadang murid SD diajak ke pemerahan susu, di situ mereka langsung mempraktekkan bagaimana memerah susu langsung dari sapi. Bagaimana mengemas dalam jirigen-jirigen besar, sampai pada mengirim ke konsumen.

Ada juga untuk pelajaran seni dan sastra murid-murid tersebut diajak ke lokasi pembuatan keramik. Dalam kapasitas seadanya, anak-anak itupun diajari cara membuat keramik. Masing-masing membikin keramik dan hasil karya mereka dibawa pulang. Hasil karya itu biasanya disimpan dan menjadi kenang-kenangan entah sampai kapan.

Biasanya experiential learning ini memberikan unsur ’fun’ atau menyenangkan pada anak didik. Karena pada dasarnya belajar itu memang harus menyenangkan, bukan malah membuat seram. Sampai saat ini sebagian besar murid masih merasa bahwa sekolah itu tidak mengenakkan, membuat susah, bahkan itu tadi, menyeramkan.

Ada pengalaman anak SD yang sebelumnya dia sekolah di Inggris (karena ayahnya ditugaskan di sana). Begitu kembali ke Indonesia, dan sekolah di Jakarta, anak itu stres, dia merasa bahwa mata pelajaran yang diberikan sangat susah, terlalu banyak pekerjaan rumah, terlalu banyak mata pelajaran. Semua pelajaran dilakukan di kelas.

Sekolah itu sama sekali tidak menyenangkan bagi dia. Butuh waktu cukup lama bagi anak itu untuk menyesuaikan diri. Sebaliknya ketika dulu pindah dari Indonesia ke Inggris, begitu mudah dia menyesuaikan dengan sekolah di sana. Sebagaimana anak-anak, unsur fun, sangat dibutuhkan dalam belajar, dan itu yang jarang ditemui di sini.

Lewat experiential learing, selain mereka belajar dari pengalaman langsung --dan itu biasanya melekat sampai akhir hayat-- metode belajar seperti ini juga memberikan nuansa lain dalam metode belajar-mengajar, yakni memunculkan kegembiraan sehingga pembalajaran bisa dinamis dan terbuka, sekaligus merangsang untuk selalu berpikir dan kreatif.

Banyak manfaat yang diperoleh dari experiential learning ini, baik bagi pengajar maupun (terutama) bagi anak didik. Maka mulailah mengajar dengan metode ini. Bagi yang sudah memulai, perbanyaklah memberikan experiential learning dalam memberikan pelajaran.

Lontar September 2008

No comments:

Post a Comment