Monday, December 1, 2008

SBI for All

Jantung Sri, sebut saja begitu, makin hari makin keras berdegup manakala hasil seleksi masuk sekolah segera diumumkan. Maklum dia mendaftar sekolah yang diidam-idamkan oleh siswa dan orang tua di kota kecil itu, sebuah sekolah berstandar internasional (SBI).

Sebetulnya bukan hanya Sri yang degup jantungnya makin keras, melainkan juga orangtuanya yang pendapatannya pas-pasan dan kadang tidak menentu. Tentu setiap orangtua ingin anaknya sekolah di sekolah terbaik. Tapi tetap saja ada tapinya, biaya yang dikeluarkan juga mahal. Karena itulah degup jantung orangtua Sri lebih keras, karena bukan saja masalah diterima atau tidak, tapi juga ada uang atau tidak.

SBI di manapun menjadi favorit buat siswa maupun orangtua. Seolah-olah jika sudah masuk di SBI mendapat jaminan masa depan akan gemilang. Mungkin iya, tapi tidak selalu begitu, tidak semudah itu, tetap ada proses panjang yang mengantarkan seseorang menjadi sukses di masa mendatang. Hanya paling tidak kunci pint masuk awal sudah dipegang.

Pada prinsipnya, sekolah yang memiliki sertifikasi SBI adalah sekolah yang telah memenuhi International Standard Organization (ISO) 9001:2000, sebuah standar internasional untuk manajemen kualitas. Di situ berarti pula proses belajar mengajarnya harus aktif, kreatif, menyenangkan, mengembangkan daya kreasi, inovasi, dan memberikan inspirasi pada murid-muridnya.

Dikatakan internasional juga karena lulusan sekolah itu kualitasnya bisa disamakan dengan dunia internasional. Karena itulah lantas SBI menjadi pilihan favorit bagi orangtua dan siswa. Mereka berlomba-lomba agar bisa menjadi murid sekolah bermutu tersebut. Persaingan untuk masuk menjadi tinggi. Dan jika sudah begini, yang rawan adalah masalah sumbangan.

Sekolah internasional tentu membutuhkan biaya tinggi, banyak pelajaran yang membutuhkan alat praktek misalnya untuk memenuhi standar kualitas. Dengan dalih itulah kemudian sekolah meminta ’pengertian’ kepada orangtua siswa agar memberikan sumbangan ke sekolah dengan angka yang cukup besar. Sayangnya tidak semua orangtua memiliki kemampuan dana yang cukup.

Kasus seperti Sri di atas, semestinya tidak perlu terjadi. Deg-degan boleh tapi tidak perlu cemas soal pembayaran sekolah. Sekolah berstandar internasional bukan berarti sekolah elit, hanya untuk orang-orang yang mampu. Apalagi sekolah negeri yang sebagian sudah dibiayai pemerintah. Kalau memang biaya operasional tinggi, harus dilakukan subsidi silang.

Universitas seperti Universitas Indonesia (UI) di Jakarta menerapkan subsidi silang untuk mahasiswanya. Uang pendidikan per semesternya ditetapkan menjadi tiga kategori, yakni dibebaskan dari pembayaran, pembayaran murah, dan bayar penuh. Jadi kisarannya antara tidak membayar sampai sekitar Rp 6 juta per semester. Begitu juga uang pangkal untuk masuk, semua dengan subsidi silang.

Di UGM subsidi silang lebih diterapkan untuk uang pangkal. Bagi mereka yang masuk di jalur khusus, setelah lulus tes dikenai uang masuk antara Rp 10 juta sampai Rp 100 juta, tergantung dari hasil tes dan fakultas yang dipilih. Fakultas kedokteran biasanya paling mahal, bahkan di UI bisa sampai Rp 400 juta.

Tapi pada intinya adalah subsidi silang. Mereka yang memiliki kemampuan lebih diwajibkan untuk membayar mahal, sedangkan yang pas-pasan juga diwajibkan membayar meski murah, sedang yang kalangan bawah, bisa dibebeaskan sama sekali dari kewajiban membayar sekolah.

Begitu juga semestinya dengan sekolah internasional di manapun. Mekanisme subsidi silang perlu diterapkan secara konsisten dan transparan. Tidak sedikit masyarakat yang memiliki anak pintar tapi juga mampu. Orang-orang seperti ini perlu ditarik uang masuk yang tinggi, beri pengertian pada mereka bahwa selisih uang masuk dengan biaya operasional itu diperuntukkan bagi anak-anak miskin yang cerdas.

Dari berbagai pengalaman, memang tidak mudah memperoleh ISO yang menjadi prasyarat sekolah menjadi SBI. Karena itu sekolah yang sudah berstandar internasional adalah sekolah pilihan, maka murid-muridnya pun adalah para murid pilihan. Tapi pilihan di sini bukan pilihan bagi yang mampu membayar apa tidak, tapi lebih pada pilihan kepintaran dan kecerdasan.
SBI semestinya tidak pandang kaya atau miskin. SBI for all.

Lontar Juli 2008

No comments:

Post a Comment