Wednesday, August 20, 2008

Antara Gizi dan 'Gizi'

Jika Anda jalan-jalan ke mal mewah seperti Plaza Indonesia, dan menemui keluarga muda belanja, akan terlihat anak mereka yang sehat, berisi, dan biasanya putih bersih. Wajah mereka juga tampak cerah, tersirat semangat yang menyala karena energi yang berlebih.

Pulangnya, jika Anda menuju ke arah Tanah Abang, hanya beberapa ratus meter dari mal itu, banyak terlihat anak jalanan yang kurus, dekil, dan sesekali tangannya menggaruk-garuk badan. Wajah mereka sayu, tak terpancar adanya semangat. Gerakan mereka nyaris tak berenergi.

Kenapa kondisi dua komunitas anak itu begitu berbeda? Gizi, jawabnya. Anak-anak yang gizinya cukup akan tampak sehat dan bersemangat, sedangkan yang gizinya kurang, badannya akan kurus dan gampang penyakitan. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia.

Survei Kesehatan Nasional 1998 - 1999 menunjukkan delapan juta balita Indonesia menderita kurang gizi. Pantas saja kalau kemudian posisi Human Development Index (HDI) versi UNDP kita rendah. Pada 2002 silam, dari 173 negara yang disurvei, Indonesia berada di urutan 110, tepat satu angka di bawah Vietnam.

***

Nurcholis Madjid, sempat terkejut ketika kampanye menjadi calon presiden ke daerah --dalam rangka konvensi Golkar-- ditanya soal gizi yang mereka nilai lebih penting ketimbang visi. Ternyata, gizi yang mereka maksud adalah gizi dalam tanda petik ('gizi').

Jadi 'gizi' itu bukan dalam artian sebenarnya yang merupakan nutrisi. 'Gizi' di sini adalah uang, makanya dengan tanda petik. Rupanya, mereka menanyakan, berapa uang yang disiapkan untuk membeli suara yang dimiliki. Mereka siap untuk membarter hak suara dengan segepok uang.

'Gizi' politik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Pada pemilihan Gubernur Bali misalnya, anggota DPRD dari PDI-P menjelang hari-H diberi 'gizi' Rp 50 juta per orang agar memilih calon drop-dropan dari DPP PDI-P. Di Batu, Malang, seorang yang ingin dicalonkan menjadi dirut PDAM setempat harus setor 'gizi' Rp 2 miliar ke anggota DPRD.

'Gizi' ternyata sangat penting dalam percaturan politik nasional. 'Gizi' juga menjadi sedemikian penting dalam memuluskan proyek di pemerintahan. 'Gizi' juga penting untuk meloloskan seorang terpidana berobat ke luar negeri, atau bisa juga menjadikan seorang terpidana tetap menjadi salah satu ketua lembaga tinggi negara.

***
Kekurangan gizi dalam pandangan ilmu kesehatan akan menyebabkan efek serius seperti: kegagalan pertumbuhan fisik, menurunnya perkembangan kecerdasan, dan menurunkan produktivitas. Selain itu juga menurunkan daya tahan terhadap penyakit sehingga mudah sakit dan memiliki tingkat risiko kematian tinggi.

Kekurangan 'gizi' bagi elit politik dan penyelenggara negara juga menyebabkan efek serius seperti: tidak percaya diri (pede) dan tak punya harga diri. Karena bagi mereka harga diri bukan diukur dari totalitas dalam membela rakyat dan negara. Mereka merasa harga diri diukur dari tebalnya dompet, dan baru pede kalau naik mobil mewah.

Ironis sekali, perjalanan bangsa besar ini ternyata ditentukan oleh 'gizi'. Siapa yang memiliki 'gizi' lebih dan bisa membagikan kepada para pemegang kunci di negara ini, maka dia dapat menyetir kemana bangsa ini akan diarahkan. Begitu besar peran 'gizi' dalam menentukan hidup kita.

***

Jutaan anak di Indonesia yang kekurangan gizi bukanlah jumlah sedikit. Mereka adalah anak-anak bangsa yang kelak akan menjadi pemimpin negara besar ini. Jika gizi mereka terbengkelai, maka akan ada generasi yang hilang akibat rendahnya kecerdasan anak-anak itu.

Penghuni negeri ini membutuhkan gizi yang cukup, terutama anak-anak, agar kelak dihasilkan sumber daya manusia yang andal. Kita tidak membutuhkan 'gizi' yang hanya dinikmati segelintir orang. Pemberian 'gizi' berarti merampas hak anak-anak kita untuk mendapatkan gizi.

Gizi dan 'gizi' hanya beda dalam tanda petik, tetapi efeknya akan luar biasa buat negeri ini jika salah menempatkan.@

Resonansi 20 Agustus 2003

* Tulisan ini terinspirasi langkah Cak Nur yang mundur dari Konvensi Golkar karena tidak punya uang

No comments:

Post a Comment