Wednesday, August 20, 2008

Miskin Bersama

Kota budaya, Yogyakarta, Oktober ini akan menjadi tempat sidang CGI (Consultative Group for Indonesia). Di situ pemerintah akan mengajukan pinjaman sebesar 2,6 miliar dolar (Rp 24 triliun) untuk menambal defisit anggaran belanja 2003. Dan sebagaimana biasanya, menjelang sidang CGI wacana mengenai utang merebak di media massa.

Pertanyaan yang biasanya muncul adalah seberapa perlu kita berutang kepada asing? Karena kenyataannya, setelah lebih dari 34 tahun kita menarik utang dengan jumlah lebih dari seratus miliar dolar, tetap saja jadi negara miskin. Puluhan juta rakyat masih berpikir hari ini bisa makan apa tidak.

Tahun lalu, ketika CGI memberi lampu hijau untuk memberikan pinjaman 3,14 miliar dolar, Kwik Kian Gie mengaku tidak bisa menjamin bahwa dana tersebut tidak dikorupsi. Aneh memang. Tapi begitulah kenyataannya. Dan barang kali tiadanya jaminan itu juga akan berlaku juga pada pinjaman untunk tahun 2003.

Bahwa pinjaman asing, terlebih dari Bank Dunia itu dikorup bukanlah berita baru. Jeffrey A Winters, seorang Indonesianis yang sempat terkena kasus pelecehan seksual di kota penyelenggara CGI 2002 itu pernah menulis artikel mengenai korupsi di bank dunia di Far Eastern Economic Review edisi Februari 1997.

Dalam tulisan berjudul 'Down with the World Bank' itu dia mengatakan kalau kiprah Bank Dunia banyak menuai kegagalan. Data yang tersaji pada 1992 menunjukkan bahwa 1.800 proyek di 113 negara, 37,5 persen gagal! Salah satu faktor penyebabnya, korupsi di lembaga itu. Setidaknya, mereka membiarkan adanya korupsi di negara pengutang.

Khusus mengenai Indonesia, Business Week edisi April 2001, memetakan adanya the good dan the bad. The good-nya adalah Bank Dunia membantu pembangunan jalan, jaringan listrik, jaringan telepon, dan secara dramatis mengurangi kemiskinan. The bad-nya adalah 30 persen dana menguap karena proyek yang dikorup.

''Korupsi dalam proyek lokal Bank Dunia begitu sistematis dan tertutup rapi sehingga tidak mudah untuk mengungkapkannya,'' begitu pengakuan Mark Baird, direktur Bank Dunia untuk Indonesia.

Terhitung sejak 1967, ada 250 proyek dibiayai Bank Dunia dengan total dana 25 miliar dolar. Jika 30 persen dikorupsi, berarti 7,5 miliar dolar (Rp 70 triliun) telah mengalir ke kantong pejabat Indonesia dan Bank Dunia.

Celakanya, yang harus terseok menanggung derita atas utang yang sekarang mencapai 73 miliar dolar AS adalah rakyat jelata. Alokasi dana untuk peningkatan taraf hidup mereka menjadi prioritas nomor sekian, di bawah alokasi dana bayar utang. Jumlahnya pun jauh dibawah, untuk bayar cicilan dan bunga utang asing Rp 59,4 triliun, sedang dana kemiskinan tak sampai Rp 10 triliun.

Tak semestinya rakyat yang harus sengsara akibat kebijakan utang tersebut. Ini bukan kesalahan kolektif sebagaimana yang sering dilontarkan banyak orang. Rakyat di bawah tidak ikut bersalah dalam keterpurukan bangsa ini, karena itu mereka tak berhak untuk menanggung beban negara.

Karena itu yang dibutuhkan negara ini bukannya utang baru lewat CGI atau apapun namanya, melainkan pemotongan utang (hair cut). Dengan langkah itu, anggaran untuk pembayaran utang bisa dialihkan untuk menghapus kemiskinan. Lagi pula bagaimana bisa masuk akal kalau utang yang ditarik cuma Rp 25 triliun sedangkan utang luar negeri yang harus dibayar Rp 59,4 triliun.

Ada kekhawatiran bahwa langkah pemotongan utang akan menyurutkan asing untuk investasi ke Indonesia, bisa jadi benar. Tapi tanpa itu pun, menurut data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), selama setahun terakhir investasi asing 'nol'. Kalaupun investor asing ngambek, mereka juga tak akan lama. Indonesia terlalu eksotis untuk didelete dari daftar investasi mereka.

Masalahnya, berani tidak pemerintah mengajukan hair cut, dengan menanggung konsekuensi jangka pendek yang memang cukup berat. Kalau saja para penyelenggara 'berani miskin bersama', potong utang bukan mustahil. Masalahnya, bapak-bapak di atas tidak mau diajak miskin. Maunya, mereka tetap kaya, sedang rakyat boleh tetap miskin.@

Resonansi 9 Oktober 2002

* Tulisan ini dibuat saat CGI melakukan sidang di Yogyakarta

No comments:

Post a Comment