Wednesday, August 20, 2008

Jangan jadi Petani

Pada 1980-an awal, seorang petani dengan lahan satu hektar bisa menghasilkan panen 5-6 ton gabah. Jika dirupiahkan, maka dia akan mendapatkan uang sekitar Rp 1,8 juta.

Sekarang, pada 2002 ini dengan hasil panen yang sama petani bisa memperoleh sekitar Rp 6,6 juta, dengan harga gabah kering Rp 1.100 per kg (sebetulnya pemerintah menetapkan harga gabah 1.519 per kg, tapi hanya mimpi saja yang bisa mencapai harga itu).

Kelihatannya lonjakan pendapatan 3,6 kali lipat itu menyenangkan. Tapi apakah semenyenangkan itu kenyataannya? Jawabnya: tidak. Karena, kebutuhan hidup juga meningkat pesat, bahkan jauh melebihi kenaikan pendapatan petani.

Kita coba bandingkan secara sederhana. Pada awal 1980-an, panenan satu hektar bisa untuk membeli motor Honda Bebek, bahkan masih tersisa, karena harganya berkisar Rp 1,2 juta. Kini panenan yang sama tidak cukup membeli Honda Bebek yang levelnya paling murah sekalipun.

Dalam wacana ilmiah, merosotnya kehidupan petani tersebut dicerminkan pada indeks Nilai Tukar Petani (INTP). Yaitu, perbandingan antara indeks harga yang diterima petani (It) dengan Indeks harga yang dibayar petani (Ib) yang dinyatakan dalam persentase.

INTP menyatakan tingkat kemampuan tukar atas produk yang dihasilkan petani terhadap barang/jasa yang dibutuhkan untuk konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam proses produksi pertanian. Nilai impasnya 100. Jika kurang berarti petani tekor, jika lebih berarti pendapatan dari pertanian bisa untuk hidup.

Mengambil tahun dasar 1993, indeks INTP pada 2000 dan 2001, selalu dibawah 100, yaitu berkisar 91,4 sampai 96,7. Hanya daerah yang menghasilkan cengkih dan coklat seperti di Sulawesi yang cukup beruntung, karena harganya melonjak akibat menguatnya dolar. Indeks nilai tukar mereka mampu menembus 200.

Kesenjangan hidup petani dengan nonpetani pun makin membesar. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 1985 pendapatan rumah tangga (RT) buruh tani Rp 247.400 pertahun, sedangkan RT nonpertanian golongan atas di kota Rp 906.600. Pada 1999, buruh tani naik menjadi Rp 1,63 juta, sementara nonpertanian melejit ke Rp 9,31 juta.

Celakanya, terpuruknya sektor pertanian ini secara tersirat justru membanggakan pemerintah. Karena dengan merosotnya nilai jual pertanian, inflasi menjadi rendah, bahkan deflasi. Inflasi rendah ini akan dibawa-bawa pemerintah sebagai salah satu keberhasilan pengendalian harga.

Kita lihat pada April silam terjadi deflasi 0,24 persen lantaran harga kelompok bahan makanan turun, terutama beras. Sebaliknya kelompok lain terjadi kenaikan, seperti jasa, properti, dll. Akibatnya daya beli petani terpuruk karena pendapatan turun sedangkan biaya hidup naik. Dan indeks nilai tukar pun makin terjungkal.

Memang tidak mudah serta merta menaikkan harga beli gabah sebagaimana diusulkan DPR Februari silam menjadi Rp 2.000 per kg. Pasalnya, harga beras internasional sedang turun, sementara bea masuknya rendah. Sehingga jika dipaksakan beras impor yang akan merajai.

Namun jika dibiarkan, nasib petani juga buntung. Subsidi jadi pilihan. Jepang, Eropa, dan banyak negara masih mensubsidi dan memproteksi produk pertanian mereka. Bahkan Amerika kabarnya sedang menyusun farm bill untuk membantu petani selama 10 tahun dengan anggaran 100 miliar dolar per tahun.

Semua negara memang memerlukan ketahanan dan cadangan pangan yang kuat. Karena sewaktu-waktu terpaksa harus perang dengan negara lain, kita punya logistik yang memadai. Dan itu tidak bisa mengandalkan impor. Itulah kenapa negara besar kaya, tetap mempertahankan pertanian sekalipun harus memberi subsidi besar.

Apakah pemerintah menyadarinya? Entah. Yang jelas, saat ini kita masih mengandalkan beras impor untuk memenuhi kebutuhan pangan. Sementara ada 22,5 juta keluarga yang mengandalkan hidup dari pertanian, dan sebagian besar hidup miskin. Karena itu janganlah jadi petani selama pemerintah masih tidak peduli pada pertanian.@

Resonansi 08 Mei 2002

* Tulisan ini muncul ketika diperoleh data bahwa nilai tukar petani nyaris tidak pernah beranjak naik

No comments:

Post a Comment