Wednesday, August 20, 2008

Memperalat Kemiskinan

Kenapa Megawati menyetujui kenaikan bahan bakar minyak (BBM), listrik, dan telepon? Bukankah kebijakan itu bertentangan dengan slogan partai wong cilik-nya, sehingga semestinya orang miskin harus dientaskan?

Logikanya seperti itu. Tapi Mega tidak. Dia menggunakan logika terbalik ketika merilis kebijakan tersebut.

Begini logikanya. Taruhlah jumlah orang miskin alias wong cilik sekarang 35 juta. Mereka inilah yang menjadi basis massa dari partainya Megawati. Nah, jika BBM, listrik, dan telepon naik, maka harga-harga akan membumbung tinggi. Akibatnya jumlah rakyat miskin akan meningkat.

Sebut saja, akibat kenaikan harga tersebut jumlah orang miskin bertambah 10 juta orang. Dengan begitu, secara dengan hitungan anak SD saja sudah ketahuan bahwa jumlah wong cilik menjadi 45 juta. Itu artinya, secara otomatis massa pendukung Mega menjadi lebih banyak.

Buat Anda pengagum Megawati, cerita tersebut jangan dimasukkan hati. Itu cuma joke yang beredar di berberapa milis di internet. Sekalipun ada juga yang sok menganggap bahwa itu bukan joke, tapi memang strategi serius yang coba dikomunikasikan lewat joke, sehingga terkesan main-main.

Namun sebetulnya inti dari cerita tersebut bukanlah pada kebijakan Megawati, melainkan bahwa betapa orang miskin acap kali menjadi ajang permainan orang-orang di atas. Orang miskin sering ditempatkan sebagai objek untuk memperkaya diri dan kepentingan politik.

Kita lihat operasi beras untuk rakyat miskin (raskin). Dalam program itu, pemerintah menyediakan 2,3 juta ton beras untuk dibagikan kepada 9,7 juta kepala keluarga (KK) prasejahtera di seluruh Indonesia. Mekanismenya, beras yang di pasaran berharga Rp 2.700 per kg, dijual Rp 1.000 per kg. Maksimal pembelian per kk per bulan 20 kg.

Tapi sebagaimana biasa, program mulia tersebut sebagian kandas di tengah jalan. Di beberapa tempat sudah diketahui ada kecurangan dalam pembagian raskin. Ada yang disunat, ada yang harganya dinaikkan, dan lain-lain.

Di Cikatomas, Tasikmalaya, Jawa Barat misalnya, dua orang staf kecamatan menyelewengkan 21 ton raskin dengan menjual ke pedagang seharga Rp 1.300 per kg. Semestinya beras tersebut diberkan kepada 1.076 keluarga miskin di wilayah itu. Tak pelak ratusan warga menyerbu kantor kecamatan untuk meminta haknya.

Kemudian di salah satu kelurahan di Balikpapan, Kalimantan Timur, koperasi yang bertugas mendistribusikan, memungut tambahan biaya Rp 300 per kg. Selain itu, mereka juga menurunkan jumlah timbangan yang seharusnya 20 kg, dikurangi menjadi 19 kg.

Di Jakarta sendiri, beberapa wilayah harus membayar Rp 1.300 per kg, dengan alasan untuk biaya transportasi. Itu pun kualitas berasnya sangat rendah yang dicirikan dengan bau apek, banyak kutu, dan kotor. Mereka terpaksa menjual kembali sebagian raskin untuk ditukarkan beras normal. Selanjutnya kedua beras itu dicampur agar layak dimakan.

Dalam hal lain, kita juga ingat beberapa waktu lalu, ketika awal Jaring Pengaman Sosial (JPS) diluncurkan. Pada tahun anggaran 1998/1999 misalnya ditengerai terjadi penyimpangan Rp 6 triliun. Salah satunya adalah JPS senilai Rp 40 miliar yang disalahgunakan untuk kepentingan partai. Penyelewengan itu terbukti dengan dijatuhkannya vonis tiga tahun penjara bagi pelaku.

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus tersebut? Adalah bahwa kemiskinan tidak mungkin terhapus dari bumi Indonesia. Karena, terlalu banyak penguasa yang mampu memperalat kemiskinan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Kemiskinan menjadi ladang untuk memperkaya diri.

Selagi mental seperti itu masih melekat di penguasa, jangan berharap kemiskinan akan pergi dari sekeliling kita. Untuk itu, jangan pula berharap adanya kestabilan sosial, karena tidak ada sejarahnya kondisi sosial akan stabil manakala kesenjangan kaya miskin makin menganga dan jumlah rakyat miskin makin membengkak.@

Resonansi 29 Januari 2003

* Tulisan ini terinspirasi oleh adanya penyelewengan beras untuk rakyat miskin oleh pegawai negeri

No comments:

Post a Comment