Wednesday, August 20, 2008

Korupsi Legal

Anda masih ingat Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkih (BPPC) pada awal 1990-an? Badan yang semestinya menyangga harga cengkih agar petani sejahtera itu, ternyata justru menyengsarakan. Harga cengkih di petani jeblok, sementara bosnya BPPC, yakni Tommy Soeharto, mengantongi keuntungan sangat besar.

Apakah kemudian hal tersebut bisa sebagai alat untuk menggugat korupsi yang dilakukan oleh Presiden Soeharto? Tidak. Aparat hukum sudah mencoba --mungkin juga tidak serius-- tapi tidak ditemukan indikasi korupsi. Kenapa? Karena pembentukan badan tersebut legal dan dibuat berdasarkan surat keputusan (SK) yang ditandatangani oleh menteri.

Kita bisa menduga bahwa Soeharto melakukan korupsi dengan memberikan kemudahan bagi anaknya untuk mengeruk uang. Tapi ketika ada SK yang ditandatangani menteri, pembentukan badan itu menjadi sah. Bahwa ketika menandatangangi para menteri itu diinjek kakinya oleh Soeharto, itu lain soal. Begitulah korupsi legal.

Kini, dijaman reformasi ini, korupsi legal ternyata masih berlangsung. Bahkan dilakukan secara massal dan tanpa rasa malu. Mereka, para pelaku tersebut, para wakil rakyat dan para eksekutif, mempertontonkan pertunjukan korupsi terselubung tersebut secara telanjang.

Bagaimana caranya? Kita bisa lihat banyak kasus di berbagai daerah di mana para wakil rakyat dengan gubernur, bupati, ataupun walikota berloma-lomba membikin anggaran 'kesejahteraan' buat anggota DPRD dan eksekutif. Ini terjadi hampir di seluruh Indonesia.

Bekasi misalnya, DPRD bersama dengan eksekutif membikin anggaran di mana seluruh anggota dewan mendapat mobil Kijang seharga Rp 135 juta. Dengan total anggota DPRD yang 45 orang, maka dibutuhkan Rp 5,85 miliar. Sementara banyak anak-anak terlantar di wilayah itu yang tidak mendapatkan pendidikan.

Anda tentu juga masih ingat anggota DPRD Jawa Barat yang bersama gubernur membikin anggaran kadedeuh (hadiah) senilai Rp 250 juta per anggota. Atau anggota DPRD Jawa Tengah yang mensahkan anggaran dana pensiun Rp 10 miliar dan gaji bulanan Rp 37 juta per bulan --pantas saja mahasiswa melemparinya dengan telur busuk.

Lihat juga, sebuah kota kecil di atas Malang, Batu, tempat kelahiran Yuni Shara. Anggota DPRD dan walikota di kota dingin itu sepakat menganggarkan Rp 5 miliar untuk fasilitas mobil. Lima petinggi DPRD masing-masing mendapat Teranno. Harga mobil tersebut kini Rp 250 juta per biji.

Masih banyak lagi contoh-contoh di berbagai kota maupun propinsi. Jika Anda keliling Indonesia, dan membaca koran-koran lokal, hampir pasti Anda temui berita semacam itu mengenai penghianatan sebagian besar anggota DPRD yang berkolusi dengan eksekutif untuk menjarah uang rakyat.

Pada eksekutif memang takut pada anggota DPRD, karena para wakil rakyat tersebut bisa dengan gampang memecatnya. Karena itu apa yang dimintanya, segera saja diberikan. Tanpa peduli rakyat. Tak heran kalau setiap ada laporan pertanggungjawaban (LPJ) eksekutif membagi-bagi amplop tebal agar tidak ditolak. Dari mana dananya? Ya uang rakyat, entah gimana caranya.

Begitulah korupsi legal yang marak berkembang. Menjadi legal karena pencurian dari harta rakyat itu dilakukan secara resmi lewat APBD (anggaran pendapatan dan belanja daerah). Jadi secara hukum sudah sah. Bagaimana pertanggungjawaban moral? Orang-orang bilang: itulah yang mereka tak punya?

Tampaknya para pejabat negara kita itu perlu membaca biografi Bung Hatta yang tanggal kemarin diperingati satu abad kelahirannya. Dari situ akan diperoleh perilaku seorang proklamator yang disiplin, jujur, santun, dan sederhana. Mereka diharap mencontohnya.

Jika setelah membaca buku itu tetap tidak mempan, barangkali sebagaimana diusulkan Presiden Partai Keadilan Hidayat Nur Wahid: hukum mati para koruptor. Tapi bung, kalau usul itu diterapkan, bukankah kemudian tidak ada pemerintahan lagi didaerah, karena kantor para eksekutif dan legislatif tidak ada orang?@

Resonansi 14 Agustus 2002

*Di berbagai daerah muncul anggaran masing-masing daerah yang umumnya memberikan fasilitas berlebihan kepada eksekutif dan legislatif

No comments:

Post a Comment