Wednesday, August 20, 2008

Masyarakat Kapiran

Ada sebuah berita yang tidak terlalu menonjol tapi sangat menyentuh hati.

Tersebutlah seorang anak bernama Siti Zubaidah (1,5 tahun), tinggal bersama kedua orangtuanya di Mataram, Lombok. Semalaman dia menangis. Tetangga yang mendengarnya menganggap tangisan itu sebagai rewel biasa, sebagaimana anak kecil.

Paginya, para tetangga itu menjadi termangu. Rupanya tangisan semalam adalah tangis terakhir dari bocah kecil perempuan tersebut. Balita itu meninggal. Dia mati kelaparan. Tangis yang terdengar parau semalaman itu adalah tangis ekspresi kelaparan.

Kasus Zubaidah bukan yang pertama kali. Sebelumnya seorang balita di Bekasi juga harus menghadap yang kuasa dengan penyebab sama: kelaparan. Mungkin masih banyak lagi bocah yang mengalami nasib serupa yang tak terpublikasi, mengingat sejak krisis ekonomi, jumlah rakyat miskin tumbuh berlipat-lipat.

Kelaparan seperti kata Amartya Sen --salah seorang peraih nobel ekonomi yang banyak berkutat di kubangan kemiskinan-- disebabkan oleh kemiskinan yang akut. Tapi bisa juga dipicu oleh kejadian hebat lain yang untuk kasus kita saat ini adalah musibah banjir.

Banjir telah makin memiskinkan sebagian besar masyarakat yang menjadi korban. Bahkan sebagian sudah dilanda kekurangan pangan karena bantuan tidak segera tiba sementara mereka tidak punya tabungan apapun untuk dijadikan makanan.

Kemiskinan sendiri memang sudah akrab dengan kita. Ketika Orde Baru berkuasa, jumlah orang miskin tidak mengalami penurunan secara signifikan sekalipun kita mencetak pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Seiring dengan runtuhnya orde otoriter yang dibarengi dengan
krisis ekonomi, jumlah orang miskin melejit menjadi 80 juta.

Dalam terminologi yang disodorkan oleh Amartya Sen, pada saat ekonomi membaik, keberuntungan dinikmati semua orang, tapi begitu merosot hanya sekelompok masyarakat yang merasakan. Dan kelompok itu adalah rakyat miskin. Logikanya, semakin banyak rakyat miskin, maka terbuka kemungkinan untuk terjadinya kelaparan massal.

Di India, negara di mana Sen dilahirkan, pernah terjadi bencana kelaparan yang merenggut tiga juta nyawa. Cina lebih dahsyat lagi. Di sana pernah tercatat rekor dengan 30 juta orang tewas akibat kelaparan lantaran kegagalan program 'Lompatan Jauh ke Depan', 1958-1961.

Teori mengatakan bahwa kemiskinan merupakan produk ketidakadilan, khususnya di keadilan ekonomi. Dalam skala global, ketidakadilan dihadirkan lewat atribut perdagangan bebas yang secara signifikan makin meminggirkan negara dunia ketiga. Negara-negara kaya memetik keuntungan, sementara negara miskin menuai petaka.

Begitu pula dalam skala nasional di negara kita. Kapitalisme yang selama ini kita anut, telah memberi peluang pada yang besar untuk memberangus yang kecil. Akibatnya peluang untuk membangkitkan peluang usaha bagi masyarakat kecil menyempit, sehingga pengangguran meningkat. Kita tahu, pengangguran sangat dekat dengan kemiskinan.

Kasus kematian Zubaidah memang terlalu jauh untuk dikaitkan dengan masalah keadilan ekonomi. Kematian balita ini 'hanyalah' kasus kematian di sebuah desa yang letaknya jauh dari ingar bingar wacana keadilan ekonomi yang acap bergema di Jakarta.

Tapi jika ternyata banyak kita temukan kasus Zubaidah-Zubaidah yang lain, maka tak salah jika mengkaitkannya dengan keadilan ekonomi --yang tak lain merupakan bentuk kebijakan pemerintah. Karena jika kebijakannya benar, maka hampir tak mungkin kita temui anak-anak mati kelaparan di negeri yang kaya akan sumber alam.

Kebijakan yang dirilis oleh Orde Baru terlanjur menciptakan masyarakat kapiran, masyarakat yang miskin tak terurus. Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintahan Megawati untuk mengurangi masyarakat tak terurus itu tanpa harus mengeluhkan kebijakan masa lalu dan tanpa perlu mengucapkan keranjang sampah di depan rakyat.@

Resonansi 13 Februari 2002

*Kematian seorang balita karena kekurangan gizi mulai banyak ditemukan pada saat tulisan ini diterbitkan.

No comments:

Post a Comment