Wednesday, August 20, 2008

Demokrasi kok masih Miskin

Per Juni kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 38,39 juta atau 19 persen penduduk miskin di Indonesia. Jadi seandainya Anda melihat ada sekumpulan yang terdiri atas enam orang, maka satu di antaranya hidup di kubangan kemiskinan.

Berapa batas miskin? Paling simpel jika dikaitkan ke dolar. Jutaan orang miskin tersebut, hidup dengan pendapatan di bawah satu dolar (sekitar Rp 8.400) per hari. Uang sebesar itu harus cukup untuk makan, pakaian, dan tempat tinggal.

Belakangan ini, sejak reformasi digulirkan dan terselenggaranya pemilu 1999, kita didaulat menjadi negara yang demokratis. Dan kita bangga dikatakan masyarakat dunia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat.

Tetapi apa arti kebanggaan itu jika masyarakat tidak menikmati secara konkret berupa naiknya kesejahteraan. Apa arti demokrasi jika pemerintah semena-mena menaikkan harga. Apa artinya demokrasi jika kehidupan masyarakat justru bertambah miskin.

Jangan-jangan negara seperti kita ini membutuhkan pemimpin yang otoriter untuk bisa membangkitkan keterpurukan bangsa. Dengan catatan, pemimpin itu lurus, tidak gila uang, dan memiliki visi yang jelas kemana bangsa ini dibawa.

Negara Barat, khususnya Amerika memang terbangun oleh kekuatan demokrasi. Mereka menjadi negara kaya dan super power karena mereka menerapkan prinsip-prinsip demokrasi --meski dalam kebijakan luar negerinya mereka lebih sering antidemokrasi.

Tetapi kasus negara di Asia lain. Negara yang perekonomiannya maju, tidak dibangun dari demokrasi, melainkan karena adanya pemimpin yang kuat yang cenderung otoriter. Mereka membangun negara dengan 'tangan besi'.

Kita ambil contoh Jepang. Dasar-dasar kebangkitan mereka diletakkan satu setengah abad silam ketika dilakukan Restorasi Meiji (1858). Saat itu jelas bahwa Jepang belumlah berdiri sebagai negara demokrasi sebagaimana saat ini.

Korea juga begitu. Park Chung Hae yang menjadi peletak dasar perekonomian Korea adalah seorang otoriter. Dia membangun Korea tanpa kompromi. Lawan-lawan politik dihabisi. Tapi imbalannya, Korea disulap dari negara miskin dengan pendapatan per kapita 100 dolar pada 1960-an, kini menjadi negara makmur dengan pendapatan per kapita 10.000 dolar per tahun.

Tak ketinggalan Singapura dan Malaysia. Pemerintahan kedua negara sampai kini masih otoriter. Tetapi, lagi-lagi, perekonomian mereka maju. Pendapatan per kapita Singapura kini 23.000 dolar, sedang Malaysia 3.900 dolar. Cina dengan pemerintahan yang otoriter juga segera menjadi negara digdaya ekonomi.

Sebaliknya, India yang sejak dulu sudah melaksanakan demokrasi tetap menjadi negara miskin dengan pendapatan per kapita hanya sekitar 1.000 dolar. Begitu pula Filipina. Negara yang meniru demokrasi Amerika itu, pendapatan per kapita 1.100 dolar dan 35 persen penduduknya masih miskin.

Soeharto barangkali hampir serupa dengan Park Chung Hae yang tewas dibunuh pada 1979. Pada awal kepemimpinan Soeharto, sekalipun otoriter, tapi masih bersih. Sayang, dia terlalu lama berkuasa sehingga belepotan oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Akibatnya, bukan seperti Korea yang terjadi, Indonesia justru makin carut marut.

Kini, dengan iklim yang sangat demokratis, ternyata tidak ada kemajuan yang dirasakan masyarakat. Hidup masih susah. Kemiskinan meningkat. KKN makin merata dan makin membabibuta, tanpa malu-malu.

Apakah berarti kita harus mundur dengan memilih pemimpin yang otoriter? Tentu saja tidak. Karena pada dasarnya demokrasi membebaskan orang untuk berkreasi, dan ekonomi akan tumbuh dengan adanya kreasi-kreasi yang teruji.

Hanya saja ada persyaratan agar iklim demokratis tetap bisa meningkatkan kesejahteraan. Syarat itu, sebagaimana ditulis Amartya Sen dalam buku "Demokrasi 'Tidak' bisa Memberantas Kemiskinan" di antaranya: Penguasa memiliki dorongan untuk mendengar apa yang diinginkan rakyat jika mereka diharuskan menghadapi kritik rakyat.

Selama ini para pemimpin buta terhadap kritikan rakyat. Mereka hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya. Para elit itulah sejatinya yang mencoreng muka demokrasi. Mereka harus bertanggungjawab terhadap persepsi rakyat bahwa demokrasi tak mampu memberantas kemiskinan.@

Resonansi 30 Juli 2003

* Data terbaru mengenai jumlah kemiskinan yang tak kunjung menyurut menjadi tema tulisan
ini

No comments:

Post a Comment