Wednesday, August 20, 2008

Siapa Mengorbankan Siapa

Hari raya korban sudah menjelang, sudahkah Anda menyiapkan sebagian harta untuk berkorban? Kalau belum, segeralah alokasikan dana untuk berkorban demi berbagi daging dengan masyarakat miskin.

Korban dalam Idul Adha merupakan ritual tahunan memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim yang diuji oleh Allah untuk berani mengorbankan puteranya, Ismail. Kita sendiri 'cuma' diuji untuk mengorbankan sebagian harta untuk dibagikan kepada yang membutuhkan.

Tapi lumayan. Dengan adanya hari raya korban ini, sebagian masyarakat kita yang tidak pernah menyantap daging kambing ataupun sapi --karena tak mampu beli-- bisa menikmatinya. Ada semacam pemerataan kenikmatan di sini.

Seorang ibu tua di daerah Magelang misalnya, baru sekali makan daging selama hidupnya setelah Dompet Dhuafa Republika menebar korban sampai ke pelosok pedesaan di mana dia tinggal. Bagi dia, sekerat daging kambing adalah sebuah kemewahan yang tak mungkin lagi dinikmati kecuali ada tebaran korban lagi.

Dibalik ritual tahunan itu sendiri, tersembul makna filosofis dari hari raya korban. Jadi, korban bukan sekadar membeli kambing atau sapi lantas disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan, tetapi juga: bagaimana sebetulnya kita berkorban dalam kehidupan sosial dan bernegara.

Kenapa krisis di negara ini tak kunjung selesai? Karena masing-masing orang atau kelompok yang berkuasa lebih suka mengedepankan egonya masing-masing. Mereka, para elite, seolah bersumpah tak akan mengorbankan ambisinya, sekalipun demi kepentingan rakyat banyak.

Di kehidupan sekeliling kita, banyak kita temui orang-orang yang bukannya rela berkorban, tetapi justru mengorbankan rakyat untuk memenuhi nafsu ambisiusnya. Itulah yang membikin krisis ekonomi dan sosial di negeri kita berlarut-larut penyelesaiannya.

Mau contoh? Kita lihat misalnya, kenaikan BBM yang dikeluarkan nyaris bersamaan dengan pemberian pembebasan tuntutan hukum pada konglomerat hitam. Di situ masyarakat disuruh berkorban demi mensubsidi konglomerat yang telah membangkrutkan negara.

Atau, kita tengok bagaimana masyarakat harus berkorban untuk negara lewat pemotongan pajak, sementara oleh elit, dana itu justru dijadikan bancaan. Rakyat juga harus berkorban untuk tidak mendapatkan pelayanan umum maksimal, karena dana pemerintah dialokasikan untuk kenaikan gaji pejabat dan anggota DPR.

Bahkan ada masyarakat yang dikorbankan nyawanya demi kepentingan politik praktis para elit. Tewasnya mahasiswa saat menggulirkan reformasi adalah contoh betapa nyawa seseorang bisa dikorbankan untuk melampiaskan ambisi politiknya.

Tak bisa dipungkiri bahwa jumlah hewan korban sendiri, baik kambing maupun sapi, belakangan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pemberi korban. Setidaknya itu terlihat dari daftar penyumbang di berbagai lembaga penyelenggara korban.

Tapi benarkah mereka yang riil berkorban? Belum tentu. Bisa jadi bahwa dari sebagian pemberi korban tersebut, yang berkorban adalah rakyat. Misalnya, pengorban yang uangnya berasal dari penyelewengan beras untuk orang miskin raskin, bukankah masyarakat kecil yang sebetulnya berkorban?

Korban dalam arti harfiah seperti pelaksaan korban di saat Idul Adha adalah penting. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kita berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara. Mengorbankan harta, mengorbankan kepentingan pribadi, mengorbankan ego, untuk kepentingan rakyat.

Terpuruknya negeri ini adalah karena rendahnya kesediaan berkorban. Prinsip 'kalau bisa mengorbankan orang lain kenapa harus mengorbankan diri sendiri' kuat dianut oleh elit politik.

Untuk itu, semestinyalah hari raya korban ini kita jadikan momentum untuk berefleksi, tentang makna kurban dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Tidak perlu lagi kita mempermasalahkan siapa mengorbankan siapa.@

Resonansi 05 Feberuari 2003

* Tulisan ini mentautkan antara peringatan Hari Raya Idul Adha dengan kondisi masyarakat kita

No comments:

Post a Comment